Wednesday, November 4, 2009

Kampung Haya


Secara geografis Kampung Haya terletak pada koordinat 02º48.940 LS dan 138º06.550 BT . Kampung Haya merupakan salah satu kampung dari 8 Kampung yang berada dalam wilayah Pemerintahan Distrik Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya Provinsi Papua. Untuk sampai di kampung ini, hanya menggunakan 2 jalur transportasi, yakni transportasi udara menggunakan pesawat berbadan kecil jenis Cessna dan transportasi sungai menggunakan perahu.
Dibutuhkan 1 – 2 hari perjalanan perhubungan sungai menggunakan perahu motor 15 pk dari Dabra Jika di potong dengan waktu istirahat pada beberapa lokasi selama perjalanan Haya – Dabra, maka sebenarnya waktu ( bersih ) yang dibutuhkan adalah kurang lebih 12 atau 13 jam, dengan kecepatan normal.
dan ± 4 jam dari ibukota Distrik Roffaer. Sedangkan dari 1 jam 30 menit menggunakan pesawat Cessna/twinoter dari Ibukota Provinsi.
Secara administratif Kampung Haya memiliki batas-batas wilayah adalah sebagai berikut:
* Sebelah Barat dengan Kampung Obogoi;
* Sebelah Timur dengan Kampung Iri
* Sebelah Selatan dengan kampung Kustra
* Sebelah Utara dengan kampung Kay 2

Sunday, October 25, 2009

Parable Of The Boiled Frog


Suatu gambaran tentang seekor kodok yang dimasukkan ke dalam sebuah belanga yang airnya sudah panas, kodok itu akan segera melompat keluar karena menyadari bahaya air panas tersebut. Sebaliknya, apabila kita memasukkan kodok itu ke dalam sebuah belanga dengan air yang masih dingin dan tidak mengganggunya, kodok itu akan tinggal dengan tenang dalam belanga itu. Kemudian air dalam belanga itu di panaskan secara bertahap, walaupun suhu air itu mulai panas, kodok itu tetap akan tenang dan tidak menganggapnya sebagai suatu ancaman.
Ketika panasnya meningkat menuju titik didih, kodok itu masih tetap bertahan dan tidak berusaha untuk melompat keluar, karena indranya belum terlatih untuk menangkap proses yang berlangsung secara gradual itu sebagai suatu ancaman. Ketika airnya sudah mencapai titik didih, kodok itu tidak memiliki kesanggupan lagi untuk menyelamatkan dirinya dan terebus matang.
Kita orang Papua di kwatirkan berprilaku seperti kodok tadi, tidak belajar untuk segera menyadari gejala dari berbagai bahaya yang sedang mengancam masa depan kita dan masa depan anak cucu kita. Kita dianggap terlalu naïf, menggampangkan persoalan, mudah tergoda dengan kenikmatan sesaat ( seperti uang yang jumlahnya tidak seberapa, minuman keras dan perempuan, sehingga tidak menghiraukan bahaya yang sedang mengancam diri kita dan diri generasi mendatang yang terus berproses secara bertahap.
Contoh, kasus Freeport. Ketika pihak perusahaan masuk dengan penelitian dan mendatangkan alat berat, dan memberikan sejumlah uang, masyarakat Amugme dan Komoro langsung memberikan perusahaan itu mengeksploitasi kekayaan emas dan tambang. Sekarang mereka menyesal, hutan mereka rusak, mata pentaharian mereka hilang.
Contoh kasus lainnya, seperti yang terjadi di Burmeso, mereka menerima uang dari perusahaan, dan membiarkan perusahaan kayu itu masuk dan mengambil hasil hutan, pihak LSM yang masuk ke sana di larang dan diusir. Sekarang, hutan mereka rusak, mata pencaharian mereka hilang, mereka mengeluh kepada LSM, namun sudah terlambat, semua sudah terjadi.
Karena itu, mari kita jaga hutan kita, tanah kita dan pikirkan baik-baik bila hendak di jual kepada pihak lain. Ingat, bahwa orang Papua tanpa tanah dan hutan serta lingkungan alam yang lestari akan menjadi orang-orang yang paling malang di tanah kelahirannya sendiri.( yomo )

Sunday, October 18, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 4 )

Kabupaten Mamberamo Raya merupakan suatu daerah yang memiliki topografi yang hampir 100 persen wilayahnya dikelilingi oleh beberapa sungai besar dan ratusan hingga ribuan sungai –sungai kecil, sehingga kehidupan masyarakatnya sepenuhnya bergantung pada kondisi sungai, terutama menyangkut transportasi hingga pada upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagaimana mereka menjalani dan mempertahankan keberlanjutan hidupnya pada kondisi itu?

Laporan : Alberth Yomo

“Kami punya pisang banyak, kacang tanah banyak, buah merah banyak, dan lain-lain, tapi kami kesulitan untuk menjualnya. Jadi kami hanya ambil itu untuk makan saja, dan yang lainnya tinggal sampai busuk,” ungkap Herman Kusra salah satu tokoh pemuda di Kampung Haya Distrik Roufaer.
Apa yang diungkapkan Herman, merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat yang bermukim di sepanjang sungai Mamberamo dan sekitarnya. Untuk urusan perut, jangan di tanya lagi, mereka punya semuanya. Di darat ada sagu, pisang, buah merah, daging babi, kuskus, tikus tanah dan lain-lain yang melimpah, demikian pula di air, ada ikan Sembilan, mujair, lele jumbo yang ukurannya sempat membuat saya tercengang, luar biasa.
Namun, yang mereka gumuli saat ini, adalah bagaimana hasil-hasil alam itu bisa mereka manfaatkan untuk mendapatkan uang. Bukan tanpa alas an, karena mereka ingin menyekolahkan anaknya melalui pendidikan yang berjenjang dari kampung hingga ke kota, yang tentunya membutuhkan biaya hidup. Selain itu, mereka juga membutuhkan beras, garam, minyak goreng, gula, kopi, sabun, baterei dan kebutuhan lainnya yang harus dibeli dengan menggunakan uang.
Masalah yang menghadang masyarakat Mamberamo, khususnya di jalur sungai Roufaer,adalah mahalnya ongkos transportasi. Satu liter bensin harganya berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 35.000. Dan untuk sampai ke pasar Distrik mereka membutuhkan 100 hingga 200 liter bensin( PP ). Beruntung kalo jual barang laku, supaya bisa bayar ongkos bensin, tapi kalo tdk laku, motoris bisa ngambek. Tapi kadang hasil jualan tidak seimbang dengan ongkos yang dikeluarkan untuk biaya transportasi. Pulang ke kampong, kadang dalam keadaan “kosong”.
“ Pernah kami bawa kacang tanah 3 ton ke Kaso, jual ke Dinas Perekonomian Mamberamo Raya, kami sewa longboat Rp 5 Juta ( PP ), tetapi sampai di Kaso, 3 ton kacang tanah yang kami bawa itu di beli dengan harga Rp 4 Juta, jadi kami pulang “kosong”,” jelas Herman.
Karena itu, Herman minta Pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memecahkan masalah kemahalan BBM , karena kondisi itulah yang membuat ekonomi masyarakat Mamberamo tidak bisa maju. Selain itu, Herman juga minta agar akses transportasi sungai dan darat segera di bangun, agar masyarakat bisa sedikit terbantukan. ( Bersambung )

Friday, October 16, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 3 )


Perubahan perilaku masyarakat yang bermukim di kampung-kampung sekitar Sungai Oi, Sungai Roufaer hingga Sungai Mamberamo tidak saja ditemukan pada anak-anak, tetapi juga pada kehidupan masyarakat pada umumnya, baik perubahan perilaku kearah yang membangun, tetapi tidak sedikit yang menyimpang.

Laporan : Alberth Yomo

“ Aduh….pace sekarang sudah tidak tinggal di kampung lagi, dia punya tempat tinggal di Jayapura. Nanti kalau dia dengar ada mau terima dana pemberdayaan atau dana Respek, baru pace muncul di Kaso ( Ibukota Mamberamo Raya ),” ungkap salah satu tokoh masyarakat, menanggapi keberadaan kepala kampungnya.

Dijelaskan, bahwa setelah memperoleh dana pemberdayaan kampung maupun dana Respek yang dikucurkan Pemerintah Daerah, kepala kampung tersebut akan menghilang kembali ke Jayapura.

“ Kita tidak tahu dengan dana itu, kita dengar saja, tetapi uangnya kita tidak pernah lihat. Masyarakat ribut-ribut, tetapi tidak bisa tegur kepala kampung, karena takut nanti dapat usir dari kampung ini, karena tanah yang kita tinggal ini dia punya tanah jadi,” jelasnya.

Pernyataan tokoh masyarakat ini mungkin ada benarnya juga, karena keadaan kampung di mana mereka tinggal tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Padahal dana Respek yang tiap tahun digulirkan besarnya Rp 100 Juta, kemudian di tambah dana pemberdayaan kampung Rp 200 Juta. Jadi sangat mengherankan, jika dana sebesar Rp 300 Juta per tahunnya yang digulirkan selama ini tidak memberikan dampak yang nyata pada kehidupan masyarakat di kampung itu.

Mungkin karena kelakuan kepala kampung seperti itu atau mungkin ada masyarakat yang ingin seperti kepala kampung tersebut, maka saat ini beberapa tokoh-tokoh masyarakat mengajukan permohonan untuk membentuk pemerintahan kampung sendiri, dengan lokasi di dusunnya masing-masing.” Supaya kita juga bisa urus kita punya diri sendiri,” tandas salah satu tokoh masyarakat.

Meski dapat pahami, keadaaa semirip dan serupa itu terjadi hampir di semua kampung di Papua, tapi apakah memang model orang papua seperti itu ? Ketika tidak diberi uang, mengeluh atas nama masyarakat dan kampung, tetapi setelah uang di tangan, menghilang tinggalkan masyarakat dan kampung.

Sering kali kondisi alam menjadi kambing hitam, padahal mereka lahir dan besar pada kondisi alam tersebut. Lain halnya jika orang dari luar Papua, keluhan seperti itu bisa dimaklumi. Alasan klasik tetap saja menjadi alasan mereka, apakah itu aparat desa, tokoh masyarakat maupun aparat Pemerintah Kabupaten. ( Bersambung )

Thursday, October 15, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 2 )



Masih soal pendidikan, selain masalah akta kelahiran, mutu pendidikan dan tenaga pengajar yang tidak beres, hal lainnya yang sekiranya perlu mendapat perhatian serius dari orang-orang Mamberamo dan pihak Pemerintah, yakni soal perubahan perilaku dari anak-anak sekolah yang ada di kampung-kampung.

Laporan : Alberth Yomo

“Gila…, anak-anak ini punya cara isap rokok juga jahat sekali,” keluh salah satu anggota tim. “ Kamu ini masih kecil, jantung belum kuat, kamu punya otak bisa mati kalau kecil-kecil begini kamu sudah isap rokok, “ tegas anggota tim lainnya kepada sejumlah anak-anak di kampung Haya yang sedang menggulung rokok AK ( Anggur Kupu ) dan dengan santai menghisapnya.

Awalnya rokok yang kami bawa adalah sebagai bahan kontak dengan sejumlah masyarakat di kampung, namun tak disangka, sumber-sumber informasi belum ditemui, dalam beberapa hari stok rokok menipis, karena anak-anak kecil menjadi bagian dari pecandu berat yang siang malam nongkrong di Posko tim.

Meski tim kami telah berupaya untuk memberi pengertian, tapi entahlah mereka mengerti bahasa yang disampaikan teman-teman kami atau tidak mau menggubrisnya, namun kegiatan itu terjadi hampir tiap hari. Bahkan pemandangan itu menjadi hal yang biasa di tempat terbuka, baik itu orang dewasa, anak-anak kecil, laki-laki maupun perempuan, termasuk anak-anak usia taman kanak-kanak.

“ Begini ade, saya sudah berupaya memberi nasehat bahkan memberi hukuman berat kepada anak-anak yang tertangkap basa menghisap rokok, tapi saya menjadi sasaran kemarahan orang tua mereka, bahkan saya sering dikejar dengan panah dan parang,” jelas Laurens, anak kampung Haya yang menjadi guru bantu di SD tersebut, menanggapi soal perilaku itu. Laurens kemudian putus asa untuk mengatasi persoalan itu.

Meski demikian, bagi Laurens hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk tetap semangat mengajar dan membimbing anak-anak yang ada di kampungnya. Karena baginya, untuk mengubah perilaku masyarakat di kampungnya bukanlah hal yang mudah, tetapi membutuhkan waktu, baginya, cepat atau lambat masyarakat di kampungnya akan memahami, yang terpentingnya baginya, bagaimana membimbing anak-anak untuk bisa membaca ,menulis serta bisa menempuh pendidikan berjenjang dengan baik hingga ke sekolah yang lebih tinggi.

Sebenarnya bukan hanya masalah rokok, tapi banyak persoalan yang selalu dihadapi Laurens, baik itu berupa persoalan pemahaman orangtua tentang pentingnya pendidikan, persoalan kesejahteraan dirinya dan keluarga hingga pada persoalan anak muridnya yang membutuhkan pendampingan ekstra agar bisa membaca dan menulis dengan baik.

“ Anak-anak harus bisa tulis dan baca sebelum mereka pergi sekolah ke tempat lain, sehingga saya tidak akan menjadi malu, ketika suatu saat anak-anak akan ditanya siapa guru yang mengajar. Karena itu, saya berusaha sekuat tenaga saya, agar anak-anak bisa baca dan tulis dengan baik,” tandasnya. ( Bersambung )

Wednesday, October 14, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 1 )



Sebulan lebih kami tinggal di kampung Haya Distrik Roufaer Kabupaten Mamberamo Raya. Ada sejumlah hal yang kami lihat, tetapi juga tidak sedikit cerita yang kami dengar dari masyarakat di sana, untuk itu kami coba lukiskan, dan biarlah kalian menilainya….

Laporan : Alberth Yomo

“Pak Guru ada pergi ke Dabra, jadi kita tidak sekolah. Nanti kalo Pak guru ada, baru kami sekolah,” ungkap Matias Kuasra, salah satu murid sekolah dasar Inpres Kampung Haya. Usia Matias diperkirakan sekitar 14 atau 15 tahun, namun pada usia tersebut, Matias baru tercatat sebagai murid kelas 3 SD. Matias sendiri juga tidak mengetahui, kapan ia di lahirkan oleh Ibunya, sehingga kami hanya bisa menduga usianya.

Ternyata bukan hanya Matias yang tidak mengetahui tahun kelahirannya, Ayah Matias sendiripun tidak mengingatnya, bahkan tahun kelahirannya sendiri tidak diketahuinya. Kondisi ini tidak hanya dijumpai pada keluarga Matias, tetapi hampir 80 persen masyarakat di kampung itu tidak mengingat kapan ia hadir ke bumi.

Kondisi tersebut mengingatkan saya pada data pemilih yang dikeluarkan KPUD Kabupaten Mamberamo Raya tahun 2009, yang mana hampir 80 persen pemilih di Kabupaten Mamberamo Raya yang terdaftar pada pemilu 2009 lalu, memiliki waktu kelahiran yang sama, baik tanggalnya, bulannya maupun tahunnya. Anehnya lagi, meski para pemilih itu mempunyai tanggal, bulan dan tahun lahir yang sama, namun usianya beda-beda, hahahaha. ….?

Terlepas dari persoalan akte kelahiran yang mungkin akan menjadi PR Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, kami kembali dulu ke sekolahnya Matias. Terdapat 4 kelas di sekolahnya Matias ( Kelas 1 sampai kelas 4 ). Ada 31 murid kelas 1, 12 murid kelas 2, 10 murid kelas 3 dan 1 murid kelas 4. Hanya 4 kelas, jadi kalau ada yang lulus kelas 4 dan ingin melanjutkan sekolahnya, maka siap-siap meninggalkan kampung ke Ibukota Distrik atau Ibukota Kabupaten.

Soal mutu sumber daya manusianya jangan di tanya…berbalik 179 derajat dari anak-anak SD di kota. Lihat saja Matias, untuk membaca tulisan “ Saya Anak Mamberamo”, butuh waktu lebih dari 10 detik, karena Matias masih belajar mengeja huruf. “ Bagaimana anak-anak mau maju, guru saja tinggal di Dabra. Sedangkan guru relawan dari kampung sini, akan bantu mengajar kalau guru dari Dabra itu datang. Jadi anak-anak selalu terlantar berbulan-bulan tidak sekolah,” ujar ayah Matius. Apakah sedih…?

Kondisi ini tidak jauh beda dengan kampung Kustra, Ibukota Distrik Mamberamo Tengah Timur yang dua bulan lalu kami datangi. Meski lebih maju dari sisi infrastruktur pendidikannya, bangunan SD memiliki 8 ruangan, SMP 3 ruangan, namun tenaga pendidiknya tidak ada. Ketika ditempat lain anak-anak pada sekolah, namun anak-anak di kampung Kustra itu kegiatannya tiap hari hanya memegang anak panah dan masuk mencari burung di hutan hingga pulang menjelang malam. ( Bersambung )








Friday, August 21, 2009

Selayang Pandang Kampung Kustra Mamberamo Raya


Mamray- Kampung Kustra, merupakan salah satu kampung dari 7 Kampung (Noyady, Eri, Obogoi, Biri, Wakiyadi dan kampung Towau ) yang berada dalam wilayah Pemerintahan Distrik Mamberamo Tengah Timur Kabupaten Mamberamo Raya Provinsi Papua.
Untuk sampai di kampung ini, hanya menggunakan 2 sarana transportasi, yakni transportasi udara menggunakan pesawat berbadan kecil jenis Cessna dan transportasi sungai menggunakan perahu.
Dibutuhkan 3- 4 hari perjalanan perhubungan sungai menggunakan perahu kole-kole ( longboat ) atau 1-2 hari menggunakan speedboat dari Ibukota Kabupaten. Kalau menggunakan pesawat, hanya membutuhkan waktu 1 jam 30 menit dari bandara sentani.
Kampung Kustra memiliki luas kurang lebih 25 KM2. Secara geografis Kampung Kustra terletak pada koordinat 02º44’50.8” LS - 137º55’04.7” BT, yang secara fisik kampung Kustra diapit oleh 2 gunung yaitu gunung Wariso dan gunung Hartaru. Di sebelah barat dialiri oleh anak sungai Deilo dan disebelah timur dialiri oleh sungai Hido. Kedua aliran anak sungai tersebut turut memberikan suplai debit air ke badan aliran sungai induk, yakni sungai Oi.
Secara administratif kampung Kustra merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Distrik Mamberamo Tengah Timur yang berbatasan langsung dengan beberapa kampung tetangga yaitu, sebelah barat dengan kampung Noyadi, sebelah timur dengan kampung Haya (Distrik Roufaer), sebelah selatan dengan kampung Biri dan sebelah utara dengan kampung Dusi.
Jumlah penduduk Kampung Kustra adalah 221 Jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga 39 KK, terdiri dari 115 laki-laki dan 104 perempuan yang tersebar dalam dua suku, yakni Banua dan Baudy, dengan marga antara lain Basutey, Orusera, Boleba, Upetaya dan Dima. ( yomo )

Thursday, August 20, 2009

Pengalaman Pertama Bersama Yali Papua ( Bagian- 3/ Habis )


Pagi harinya, Selasa ( 7/7 ), diiringi kicauan burung yang saling berbalas-balasan, saya bangun lebih dulu dari 3 teman lainnya, jam ditangan menunjukkan pukul 05.45 Wit, kemudian perlahan membuka pintu dan keluar menghirup udara pagi yang terasa begitu sejuk. Ternyata di luar sana, tepatnya di tempat perapian, Ibu desa dan tiga orang anaknya sedang duduk, dan nampaknya mereka tengah menghangatkan tubuh mereka di dekat perapian kecil yang menyalah.
Oleh : Alberth Yomo

Selamat pagi mama, sahutku, kemudian mendekati mereka dan ikut menghangatkan badan di perapian itu. Suhu pagi itu, sebenarnya tidak terlalu dingin.” Mama dingin kah? Tanya saya.” Iyo mama sakit ni, jawabnya. Terlihat jelas, raut muka mama desa nampak pucat. “Kaki ini yang bikin sakit, jawan mama desa, sambil menunjuk pada kakinya yang bengkak. Nampaknya bukan bengkak biasa, saya menduga itu penyakit kaki gajah, hal serupa yang saya lihat kemarin, sore pada beberapa penduduk dewasa lainnya di kampung tersebut.
“ Mama ini mungkin penyakit kaki gajah ini, “ kataku. Tapi mama desa mengelak,”bukan, ini hanya bengkak biasa,” jawabnya. Tidak ingin berdebat, saya terdiam sejenak sambil melihat mama desa mengelus-elus kakinya yang bengkak itu. Meski kedua kakinya terlihat sama bengkaknya, namun, yang dielus hanya kaki kanannya.
Beberapa detik kami terdiam, namun tiba-tiba mama desa berbicara, katanya, kalau setiap tamu yang nginap di rumahnya, biasanya membayar Rp 500.000,-, bermaksud menyinggung keberadaan kami, dan berharap kami juga seperti tamu-tamu mereka sebelumnya yang harus membayar sejumlah uang tersebut sebelum meninggalkan rumahnya.
“ Oh begitu kah? Siapa saja yang pernah datang tidur ( nginap ) di mama dong p rumah,” Tanyaku. Mama desa hanya diam. Dalam hati saya berkata, ternyata kamar hotel masih kalah. Kita harus siap-siap mengumpulkan uang untuk membayar penginapan pada rumah yang tampak tidak terurus ini. Ah anggap saja ini sebagai sumbangan, pikirku lagi.
Beberapa saat kemudian, teman-teman lain pada bangun, kemudian saya menyampaikan hal ini pada mereka. Semua pada kaget. “Ah kita bayar saja sesuai dengan apa yang ada di tangan kita, bisa kacau ni biaya perjalanan, belum sampai di tempat tujuan, sudah begini,” ujar Karji, pimpinan tim.
Tidak hanya itu, beberapa saat kemudian, dating beberapa warga meminta rokok, gula dan daun the, kami berikan. Kami kemudian sepakat, untuk secepatnya mengurus longboat. Setelah bernegosiasi dengan pemilik longboat di kampung itu, kami akhirnya sepakat membeli 10 liter bensin, yang harga per liternya Rp 28.000,- membayar sewa longboat dan tenaga motoris yang biaya lebih dari sejuta.
Singkat cerita, tidak mau berlama-lama di kampung tersebut, kami langsung angkut barang menuju dermaga sungai, sambil menungguh persiapan motoris dan longboat. Setelah semuanya siap, kami langsung berangkat menuju desa tujuan, yakni Kampung Kustra. Meski sebenarnya kami masih harus menungguh penjemputan dari kampung Kustra, tapi karena keadaannya seperti itu, kami merasa tidak nyaman, apalagi ada permintaan dari beberapa warga untuk membayar pisang mereka yang kemarin kami nikmati, akhirnya kami percepat, setelah semua permintaan mereka kami lunasi. Kami kemudian menempuh perjalanan menyusuri sungai Oi menuju Kampung Kustra. Sayonara Noyadi………

Wednesday, August 19, 2009

Pengalaman Pertama Bersama Yali Papua ( Bagian- 2 )

Sore itu, saya benar-benar merasakan suasana yang sangat berbeda dari biasanya. Disisi lain merasakan kesejukkan alam yang luar biasa dari hutan di kampung ini, namun pada sisi lainnya, saya merasakan ada suatu keanehan dari tatapan orang-orang di kampung ini. Tatapan penuh tanda tanya, tatapan penuh kecurigaan, dan sebagainya…
Oleh : Alberth Yomo
Setelah melepaskan kepergian AL Grengerickh dengan pesawat yang dipilotinya, kami bergegas mengangkat sejumlah barang bawaan menuju rumah terdekat dari lapter, untuk menitip sementara barang bawaan sekaligus sebagai tempat peristirahatan kami, sambil menunggu jemputan menuju kampung Kustra.
Saat mengangkat barang, tidak terlihat keiklasan dari warga setempat untuk membantu, akhirnya kami meminta tolong kepada beberapa anak kecil untuk membantu, sementara sekitar belasan pria dewasa hanya melihat saja.
Rumah yang kami singgahi, ternyata punya kepala kampung Noyadi, namun hanya istri dan 3 orang anaknya yang berada di rumah tersebut, sedangkan kepala kampung menurut warga setempat, sedang berada di Kasonaweja ( Ibukota Kab. Mamberamo Raya ).
Dalam hitungan menit, sekitar puluhan warga baik dewasa hingga anak-anak sudah berkumpul di sekitar rumah yang kami singgahi, dan memplototi kami dari ujung kaki hingga ujung rambut. Benar-benar aneh perasaan sore menjelang malam itu.
Namun, untuk mencairkan perasaan yang takaruan itu, kami coba mengajak bicara dengan anak-anak usia SD dan SMP, yang saat itu lagi ramai-ramainya memegang busur dan anak panah sesuai ukurannya, sambil memanah buah papaya yang sengaja di lempar jauh kemudian dipanah rame-rame.
Saya kemudian berinisiatif mengadakan lomba memanah, dengan hadiah Rp 5000, ternyata pesertanya sangat antusias, hamper belasan anak mengikuti lomba yang hadiahnya Rp 5000 untuk satu orang. Akhirnya lomba itu menjadi pusat perhatian dan menjadi bahan ketawa sekaligus sebagai sumber pemecah kebisuan.
Setelah tiga kali berturut-turut mengadakan lomba itu, akhirnya kami menjadi akrab bercerita, meski pengucapan bahasa Indonesia mereka agak patah-patah, namun bisa kami mengerti. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan bakar pisang bersama hingga larut malam, kami bubar dan menuju pembaringan masing-masing. ( Bersambung )

Tuesday, August 18, 2009

Pengalaman Pertama Bersama Yali Papua ( Bagian- 1 )


Oleh : Alberth Yomo
Mamray- Hari itu Sabtu ( 4/7/09 ), sekitar pukul 09.00 Wit, saya mendapat sms dari kaka Ricky Buiney ( kaka sealmamater di Unipa Manokwari ),melanjutkan pesan kaka Mardiah yang meminta dua orang sarjana kehutanan untuk dipekerjakan pada Yayasan Lingkungan Hidup ( Yali ) Papua guna penelitian study awal di beberapa kampung dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Mamberamo Raya.
Tanpa berpikir panjang ( karena kebetulan saya memiliki latar belakang pendidikan tersebut ), saya kemudian menghubungi kaka Mardiah, atas petunjuk kaka Mardiah, akhirnya hari itu juga saya bertemu dengan tim Yali Papua yang tengah melakukan rapat persiapan terakhir di aula YPMD Kotaraja.
Singkat cerita, saat itu juga saya menandatangani kontrak kerja bersama Yali Papua, dan selang sehari kemudian, kami sudah berada di Bandar udara sentani untuk berangkat menuju lokasi study.
Tanpa ragu, saya begitu percaya diri melakukan perjalanan menuju tempat yang tidak pernah saya tahu. Apalagi naik sebuah pesawat kecil ( jenis cesna ) yang juga baru pertama saya tumpangi.
Meski sebelumnya, ada perasaan was-was mengingat kasus-kasus kecelakaan pesawat yang belakangan terjadi di pedalaman Papua, namun perasaan itu saya buang jauh-jauh, apalagi saat melakukan penerbangan itu, cuaca begitu cerah.
Setelah melakukan penerbangan sekitar satu setengah jam dengan menikmati panorama hutan Papua yang terlihat dari ketinggian begitu lebat, dengan sejumlah sungai besar kecil berwarna coklat yang berlikuk-likuk, akhirnya kami berhasil mendarat di lapangan terbang Noyadi ( salah satu kampung perbatasan dengan wilayah study ) yang memiliki panjang landasan kurang lebih 100 meter itu.
Jam di tangan menunjukkan pukul 15.00 Wit, kami coba mengecek para penjeput yang sebelumnya sudah dikontak lewat radio panggil ( SSB ). Namun ternyata tidak ada jemputan, akhirnya kami bermalam di kampung Noyadi. Ada cerita yang begitu mengesankan dan juga begitu mengherankan ketika berada sehari di kampung itu…( Ikuti kisahnya berikut…Bersambung )

Mamberamo Raya Epenkah...? Boooo... Jangan Tanya Lagi Paling Epen gitu lo...




Mamray- Papua merupakan daerah yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam dengan nilai keunikannya yang khas. Tingginya keanekaragaman flora dan fauna pada hutan tropis Papua disebabkan karena adanya proses pembentukan pulau new guinea dimana evolusi tektonik, geologi dan sifat batu-batuan yang unik menyebabkan terjadinya perbedaan iklim serta isolasi yang merangsang terjadinya pembentukan species endemik dengan keunikan tersendiri baik flora maupun fauna.
Kabupaten Mamberamo Raya yang memiliki luas kurang lebih 23.813,91 KM2, dengan DAS Mamberamo se luas 7.687.224 Km atau 18,83 % dari total luas DAS di Papua 40.834.951 Km, sangat berbeda dengan DAS yang lain, dengan adanya rawa pantai dan pada bagian tengah terdapat ngarai yang memotong pegunungan Foja-Van Rees. Bagian tengah sungai antara pegunungan ini dan pusat cordillera yang membentuk lahan basah yang luas dan dialiri anak sungai di lereng utara dari pusat pegunungan seperti halnya lereng selatan dari pegunungan Foja-Van Rees.
Dengan demikian aktifitas yang paling sering dilakukan oleh penduduk asli Mamberamo Raya adalah berburu, menangkap ikan dan buaya serta meramu baik sayuran dan sagu. 90% penghidupan penduduk asli bergantung pada sagu sebagai sumber kalori utama. Potensi sagu cukup besar, diperkirakan luasnya 60.000 Ha. Memancing, berburu secukupnya untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga dan sebagian untuk di jual. Aktifitas bercocok tanam yang dilakukan adalah menanam ubi–ubian dan pisang sebagai makanan pelengkap tetapi dalam jumlah yang sangat terbatas. Perburuan buaya adalah yang paling utama untuk memasarkan kulitnya.
Mamberamo dengan kondisi fisik wilayah yang bervariasi turut membentuk ekosistem serta tingkat keragaman hayati (Biodiversity) daerah tersebut. Ekosistemnya yang cukup lengkap, mulai dari daerah sungai, mangrove, rawa, danau, dataran rendah dan dataran tinggi membuat Mamberamo menjadi unik. Disamping biodiversity, Mamberamo pun kaya akan potensi sumberdaya alam yang lain, seperti potensi tambang, hutan, perikanan, buaya serta debit sungai Mamberamo yang mampu menghasilkan energi listrik berkapasitas 10.000 Mega Watt.
Selain itu terdapat 250 spesies pohon yang telah berhasil diidentifikasi, juga spesies lain yang ditemukan antara lain 56 serangga air yang mana 17 diantaranya merupakan spesies baru, lebih dari 480 spesies ngengat, 23 jenis ikan air tawar dan beberapa diantaranya seperti Ikan Mas, Tawes, Lele dan Gabus merupakan spesies introduksi. Para peneliti juga telah mengidentifikasi 21 jenis Katak, 69 jenis Mamalia, 36 jenis Reptilia serta 143 burung dan 65 jenis diantaranya tergolong spesies endemik New Guinea. Di daerah Mamberamo berhasil ditemukan 115 spesies kupu-kupu dan beberapa diantaranya merupakan spesies dilindungi dan juga bernilai komersial.
Untuk melindungi keunikan tersebut, maka ditetapkanlah Kawasan Suaka Margasatwa Mamberamo-Foja yang meliputi Daerah Aliran Sungai Mamberamo, daerah Pegunungan Gautter dan Pegunungan Karamor yang di dalamnya termasuk Distrik Mamberamo Hilir, Mamberamo Tengah, Mamberamo Hulu sampai ke Pantai Timur (Kabupaten Sarmi).
Perkembangan berjalan, kemudian Mamberamo ditetapkan sebagai daerah Kabupaten yang mana upaya percepatan pembangunan merupakan pilihan yang harus dilakukan, terutama pembangunan infrastruktur untuk menunjang jalannya pemerintahan di daerah tersebut. Proses ini tentu membutuhkan Sumberdaya yang tidak sedikit, baik itu manusia, uang, mesin serta sumberdaya alam termasuk memanfaatkan segala kesempatan.
Upaya memacu percepatan pembangunan di wilayah ini, akan berimplikasi pada masyarakat serta lingkungan, terutama penduduk asli di wilayah tersebut. Sebab, pemerintah akan membuka ruang bagi keterlibatan berbagai aktor pembangunan, untuk bersama–sama terlibat dalam pembangunan Mamberamo.
Dalam proses tersebut, akan terjadi pemanfaatan lahan–lahan serta sumberdaya alam milik masyarakat untuk membangun fasilitas-fasilitas umum, seperti kantor-kantor, rumah sakit, sekolah, dan lain–lain. Seiring dengan pengalihan hak tersebut, maka sekaligus merubah fungsi lahan serta orientasi masyarakat terhadap lahan.
Proses pembangunan di wilayah tersebut, selayaknya direncanakan secara baik dan benar serta arif agar kemungkinan dampak yang akan muncul terutama terhadap masyarakat dan lingkungan, dapat diminimalisir.
Untuk itu, YALI sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat, yang sejak tahun 1994 sampai sekarang bekerja melakukan proses-proses pendampingan serta advokasi bagi hak-hak masyarakat asli di wilayah tersebut, dengan pembelajaran dari proses pembangunan yang berlangsung di Papua umumnya, maka study ini menjadi penting untuk dilakukan sedini mungkin agar mendapat gambaran atau rona awal dari wilayah tersebut termasuk pola penguasaan tanah dan SDA oleh penduduk asli Mamberamo Raya. ( yali papua )