Friday, September 10, 2010

Catatan Perjalanan Dari Kampung Metaweja, Kabupaten Mamberamo Raya ( Bagian-2 )


“ Kami anak batu, sudah Bisaa jalan tanpa sepatu, jadi jangan Tanya soal sanggup atau tidak”

Laporan : Alberth Yomo

Bukan hanya Petu dan Ibunya, bersama kami, ada juga Hans Soromoja, salah satu porter kami yang mengalami hal yang sama. Remaja kelas II SMA ini juga mengalami demam tinggi. “ Saya tidak mau tinggal di sini, lebih baik saya ke Kasonaweja, supaya bisa dapat obat,” ujar Hans, ketika ia disarankan untuk tinggal, karena demam tinggi yang dialaminya.

Hans disarankan untuk tinggal bukan tanpa alas an, karena perjalanan yang akan ditempuh ini dikuatirkan sangat beresiko memperparah keadaannya, karena perjalanan ini selain jauh ( 69 Km ), jalannya juga tak mulus, yakni jalan di atas bebatuan tajam, puluhan bahkan ratusan kali masuk dan keluar menyeberangi sungai, panasnya terik matahari, kekuatiran akan turunnya hujan dan banjir, dan berbagai resiko lainnya.

Tetapi bagi Hans, Petu dan Ibundanya, ancaman itu bukanlah hal yang baru, tetapi sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka di Metaweja. Hans bahkan menyebut diri mereka adalah “anak batu”, artinya mereka tumbuh dan besar dalam kondisi alam seperti itu, jadi tajamnya batu kali, sama sekali tidak membuat telapak kaki mereka pilu, karena telah terBisaa. “ Kami anak batu, sudah Bisaa jalan tanpa sepatu, jadi jangan tanya soal sanggup atau tidak,” ujar Hans.

Aku mencoba melepas sepatu boat dan meniru langkah mereka dengan berjalan tanpa sepatu, aku tak sanggup ketika melangkah sekitar 100 meter, belum lagi melewati hutan yang dipenuhi lintah, aku melihat punggung kaki hingga betis mereka ditumpuki lintah pengisap darah, ketika lintah itu dibersihkan, tampak kaki mereka seperti diiris-iris dengan silet, terlihat darah segar membasahi punggung kaki dan betis kaki mereka, tetapi itu dianggap Bisaa-Bisaa saja.

Ketika dalam perjalanan, Panus mengungkapkan, bahwa obat parasetamol yang aku berikan, ternyata manjur, sehingga demam yang dialami Petu sang pasien kecil sudah menurun dan kondisi Petu sedang dalam keadaan baik, demikian pula dengan Ibunya. Sementara Hans, hanya menghangatkan tubuhnya dekat api yang menyala, ketika kami sedang beristirahat dan bermalam dalam perjalanan itu. Kondisi Hans, benar-benar membuat aku panic,karena terlihat jelas ia menahan rasa sakit itu, tetapi disisi lain, aku melihatnya sebagai seorang remaja yang kuat, meski dalam kondisi demikian, ia mampu bertahan hingga kami tiba di Kasonaweja.

Tetapi yang aku salut, meski perjalanan itu jauh dan ditempuh dalam waktu tiga hari berjalan kaki, namun aku merasa seperti sedang berwisata di hutan dengan guide-guide local yang luar Bisaa. Tim di bagi dua, satunya jalan mendahului guna menyiapkan makan ala kadarnya, sementara tim lainnya mengawal aku dan temanku berjalan di belakang. Ketika tiba pada suatu titik, aku sering terkejut, karena selalu ada kejutan yang melegahkan hati yang dilakukan oleh tim pertama.

Mereka seakan mengetahui apa yang sedang aku rasakan. Ketika haus, tiba-tiba di depan jalan sudah ada air kelapa muda, ketika perut keroncongan, di depan jalan sudah di siapkan makan ala kadarnya. Ketika kepanasan, diajak berendam dalam air sungai, sambil menyelam mencari ikan dengan sumpit, jika dapat, kami membakar lalu menikmatinya bersama. Hingga gelap menghampiri, kamipun membaringkan tubuh dalam bevak sempit, menanti esok untuk kembali melanjutkan perjalanan.( Bersambung )

Thursday, September 9, 2010

Catatan Perjalanan Dari Kampung Metaweja, Kabupaten Mamberamo Raya ( Bagian-1 )


“ Tempuh perjalanan sejauh 69 km untuk berobat anak yang sedang sakit”

Laporan: Alberth Yomo

Pagi itu, cuaca sangat dingin, mentari pagi perlahan mulai menampakkan wajahnya dari balik gunung kwanima, seakan takut dengan munculnya sang mentari, kabut putih yang semula menutup perkampungan metaweja,mulai lenyap dari hadapanku. Tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang anak kecil dari balik rumah berdinding gabah yang berada di sebelah rumah tempat kami menginap, suara itu seakan memecah kesunyian pagi.

Tangisan semakin keras terdengar, seiring dengan bentakan suara seorang wanita dewasa, tampaknya seorang Ibu yang sedang membujuk anaknya agar tak menangis lagi, namun sang anak tak menghiraukan bujukkan ibunya, ia terus merengek, sehingga membuat sang Ibu menjadi resah lalu membentak anaknya.

Sejam kemudian, datanglah guide kami dan memberitahukan, kalau suara tangisan tadi adalah tangisan seorang anak benama Petu, berumur setahun lebih yang mengalami demam tinggi, sehingga ia memohon bantuan kepada kami, kalau sekiranya ada obat pada kami, untuk membantu menurunkan panas anak tersebut. Dan kebetulan aku masih menyimpan 3 butir obat generic Parasetamol, lalu aku berikan dengan petunjuk agar diberi setengahnya yang diaduk dalam sendok makan lalu memberi minum obat itu kepada Petu.

“Sudah lama tidak ada petugas kesehatan di kampung ini, jadi kalau ada orang yang sakit, kami akan berusaha membawanya ke Kasonaweja ( Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya)” ungkap Panus Sawai, seorang penginjil yang telah mengabdi hamper 19 tahun di wilayah kepala air sungai Apawer, termasuk di Kampung Metaweja, tempat asalnya.

Panus mengungkapkan, bukan hanya Petu yang sakit, tetapi ibunya juga dalam keadaan sakit, sepertinya gejala sakit malaria, sehingga ia menyarankan untuk segera bergegas menuju Kasonaweja. Kebetulan pada saat yang bersamaan, kamipun akan meninggalkan Metaweja menuju Kasonaweja, jadi pasien kecil ini bersama ibunya, atas pertimbangan Panus, akan ikut dalam rombongan kami berjalan menuju Kasonaweja, dengan menempuh perjalanan kurang lebih 69 km menyusuri sungai dan hutan selama tiga hari perjalanan untuk bisa tiba di Kasonaweja.( Bersambung )

Manfaat Lebih Berharga dari Fisik


Pohon memiliki nilai yang sangat berharga. Berharganya pohon tidak sekedar dinilai dari fisiknya berupa akar, batang, cabang, ranting, daun dan buah yang bisa dimanfaatkan langsung. Berharganya pohon terletak pada manfaatnya yang justru tidak dapat dilihat langsung tapi begitu nyata. Pohon bernilai tinggi bukan pada fisiknya, namun pada fungsi atau manfaatnya.

Bila fisik pohon yang kita manfaatkan, maka kita hanya bisa merasakan nilai kecil di dalamnya. Kita hanya bisa menilai kayu sebagai bahan bangunan dan alat-alat rumah tangga. Kita hanya bisa menghargai kertas dan pensil sebagai alat tulis. Kita bisa menikmati sedapnya buah dan rasa dedaunan. Kita bisa merasakan kehangatan dari terbakarnya ranting dan cabang kayu. Kita bisa merasakan khasiat obat ari akar-akar pohon. Kita juga bisa dapat memiliki hiasan dari kerajinan dari bahan yang bersal dari pohon. Nilai fisik pohon hampir bisa dijangkau harganya oleh semua orang.

Bila fungsi pohon yang akan kita nikmati, maka nilainya akan sangat tinggi. Pohon memberi oksigen bagi lingkungan yang tak bisa digantikan oleh makhluk lain. Pohon dapat mengatur air meresap dan mengalir ke tempat yang dibutuhkan makhluk hidup. Pohon dapat meredam cahaya matahari yang sangat terik saat siang serta menahan hilangnya panas dari permukaan bumi hingga bumi dalam kondisi hangat pada malam hari. Pohon menjadi tempat bermain dan bersarang yang nyaman bagi satwa yang sangat yang juga diperlukan manusia. Pohon menyediakan keindahan yang membuat pikiran dan perasaan manusia menjadi lebih baik.

Berapa harga yang sanggup kita bayar untuk bisa menghirup oksigen. Berapa banyak uang yang akan kita guakan untuk mengusir panas dan menghangatkan badan ketika cuaca ekstrim. Seberapa tinggi harga yang sanggup kita berikan untuk bisa menikmati atraksi dan suara satwa. Seberapa besar kesediaan kita membayar untuk menyegarkan pikiran dan emosi kita dengan menikmati pemandangan yang hijau dan alami serta udara yang segar. Sebesar apa pengorbanan yang akan kita keluarkan agar produktifitas kerja tidak berkurang karena kondisi cuaca yang tidak nyaman, udara yang tidak segar serta pemandangan lingkungan kerja yang menjenuhkan. Semua itu pasti akan kita bayar dengan sangat mahal.

Manusia secara fisik memang memiliki nilai yang sangat berharga. Anggota tubuh kita sangatlah berharga. Keindahan fisik dapat bernilai tinggi bagi sebagian manusia. Sosok fisik tidak jarang menjadi penilaian tingginya ”harga” manusia. Namun seringkali penilaian itu sangat relatif dan tidak berlangsung lama. Tidak jarang fisik yang menarik tidak dapat berdaya manfaat tinggi dan akhirnya tidak mendapat apresiasi tinggi pula dari sesamanya.

Manfaat yang muncul dari sosok manusia itulah yang sangat bernilai bahkan sulit dihitung harganya. Akal dan budi manusialah yang menjadikan manusia menjadi makhluk yang mulia diantara seluruh ciptaan-Nya. Mulianya manusia terletak bagaimana mengoptimalkan manfaat dari akal dan budinya.

Akal bila dioptimalkan daya dan fungsinya akan melahirkan karya yang nilainya sangatlah tinggi dan luas manfatnya. Akal yang berfungsi maksimal dapat menjadi sarana untuk mengenal Yang Maha Pencipta. Akal dapat membuka tabir rahasia alam semesta dan membuat manusia mampu mengemban amanah sebagai pemakmur bumi.

Budi atau akhlak merupakan aktifitas hati yang berasal dari pengetahuan, pemahaman, penghayatan, prinsip, pembiasaan dan karakterisasi diri. Dengan hati, manusia bisa mencapai derajat tinggi dari pandangan Tuhan dan manusia sekitarnya. Manusia berhati mulialah yang dapat menjadi acuan hidup bagi yang lainnya. Manusia yang mengoptimalkan hatinya akan mendapat kebahagiaan hidup yang nilainya tak dapat tergantikan oleh materi. Bukankah muara dari pencapaian hidup manusia adalah kebahagiaan. Ya, kebahagiaan di dunia ini dan kebahagiaan kelak setelah berjumpa dengan Tuhannya.

Bukankah manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya, bukan yang paling indah fisiknya, bangsawan asal muasalnya, kaya orang tuanya dan pejabat kerabatnya. Selamat bermanfaat bagi sesama dan lingkungan.(Achmad Siddik Thoha siddikthoha@yahoo.com)

Monday, May 10, 2010

Pohon Inspirasi ( 4 )


Benih Beringin (Ficus Annulata) itu jatuh juga setelah menempuh perjalanan jauh. Bersama burung ia mengakhiri perjalanannya di rimbunnya belantara hutan. Sayang, benih itu tidak sampai ke tanah. Ia tersangkut di cabang pohon besar.
”Ah tak apalah, aku masih bisa hidup disini.” bisik benih Beringin. Lalu ia meminta ijin untuk hidup bersama pohon besar.
” Pohon besar, ijinkan aku hidup bersamamu sampai aku kuat dan besar.” pinta benih Beringin.
”Silakan, suatu saat engkau akan memberi manfaat besar bagi yang lain.”
Pohon besar berbaik hati untuk menjadi pohon inang (host tree = pohon yang ditumpangi) bagi benih Beringin.

Hari demi hari, benih Beringin tumbuh cepat. Keluarlah daun dan batang kecil. Beringin kecil mendapat matahari dan air tanpa mengganggu pohon besar. Akar beringin menjulur menggantung ke bawah untuk membantunya bernafas. Beringin hidup secara epifit, hidup berdampingan tanpa mengganggu dan sedikit mengambil makanan dari pohon besar. Pohon besar rela berbagi sedikit makanan dengan Beringin kecil.

Beringin mulai tumbuh membesar. Akarnya juga tumbuh makin besar dan panjang. Beringin perlu makanan yang lebih banyak. Tak cukup hanya mengandalkan sedikit makanan dari pohon besar. Ia merambatkan akar-akarnya di batang pohon besar. Beringin pun makin besar dan akarnya kini telah menghujam ke tanah. Makin lama akar Beringin makin besar menyerupai batang. Akar beringin telah membelit kuat pohon besar. Pohon besar masih bersabar menerima Beringin hidup disisinya.

Lama kelamaan beban beringin di pohon besar makin berat. Akar-akar yang jumlahnya ratusan julur, yang tadinya kecil dan halus makin mengeras dan melilit pohon besar hingga tumpang tindih. Bagian atas beringin sudah tumbuh menjadi batang yang besar dan makin mencekik pohon besar. Hingga pohon besar hampir tidak nampak lagi.

Pohon besar menyadari dirinya tak kuat lagi menahan pesatnya pertumbuhan Beringin Ia juga telah berumur lanjut. Ia tidak mau bersaing dengan beringin. Meski ia tahu beringin awalnya hanyalah makhluk kecil tak berdaya yang menumpang hidup diketiak batangnya. Ia pula yang dengan ikhlas menyuapi makanan saat kecil.

”Ah, tak apa-apa. Aku bahagia ketika beringin menjadi kuat. Lihatlah sekarang... monyet, serangga dan banyak hewan lain mendapat makanan dan perlindungan disini. Beringin telah mengundang banyak hewan kemari. Di masa tuaku, aku sangat bahagia, karena keberadaanku makin bermakna dengan kehadiran Beringin.” ungkap pohon besar pada seekor burung yang tiap hari hinggap di tubuhnya. Akhirnya pohon besar itu mati

Memang begitu adanya. Beringin mencekik pohon besar bukan untuk menzhaliminya. Beringin telah membuat lingkungan yang nyaman bagi burung dan serangga bersarang. Buah beringin yang lezat memberi gizi yang banyak bagi burung hingga tulang dan cangkang telurnya kuat. Kelak burung-burung inilah yang akan menyebarkan biji-biji ke berbagai tempat hingga Beringin memberi dampak yang besar bagi lingkungan.

Sia-siakah kematian Pohon Besar? Ternyata tidak. Ia menyediakan lubang yang nyaman bagi bersarangnya serangga penghasil madu. Serangga ini mempunyai rumah mewah. Lubang yang luas dan nyaman serta makanan berlimpah dari bunga-bunga beringin. Serangga ini tidak hanya makan, ia sekaligus menyerbuki bunga-bunga hingga buah Beringin makin lebat. Beringin dengan payung daun dan cabangnya yang besar, juga menjadi tempat berlindung bagi rusa dan hewan mamalia lain dari udara panas.

Indah sekali kehidupan harmonis dari pohon besar dan Beringin pencekik ini. Pohon besar dengan ikhlas dan prasangka baiknya membuat Beringin tumbuh menjadi sosok yang kuat dan pelindung bagi makhluk lain. Kekuatan memberi dari pohon besar telah memberi manfaat yang lebih luas. Meski ia tercekik, terambil makanannya, terhalangi tubuhnya dari matahari, ia tak marah. Pohon besar sangat paham, bila ia mengusir beringin kecil dulu, maka ia hanya sebatang pohon dengan sedikit manfaat. Namun karena kelapangan hatinya , kesabarannya menerima, mendidik dan melayani Beringin maka ia menjadi pohon yang nyaman bagi tumbuhnya generasi kuat dan mampu memberikan banyak manfaat. Semoga kita dapat meneladani sikap pohon besar yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi kepentingan makhluk lainnya. Demi kelangsungan hidup makhluk-makhluk di sekitarnya.

Achmad Siddik Thoha
siddikthoha@yahoo.com

Sunday, May 9, 2010

Pohon Inspirasi ( 3 )


Saat kita ingin memperluas bangunan rumah dan membangun gedung lainnya, seringkali pepohonan menjadi obyek yang harus dimusnahkan. Bangunan dan lahan berbeton lebih kita cintai daripada pohon. Kita memperlakukan pohon dengan sewenang-wenang.

Saat kita jaringan listrik dan telepon terbelit ranting pohon, maka tanpa pikir panjang pohon akan ditebas bahkan ditumbangkan. Kawat hitam semrawut lebih kita sukai daripada pohon. Kita memperlakukan pohon dengan tidak adil.

Saat jalan harus diperluas, ketika harus menanam tanaman semusim atau ketika fasilitas umum akan didirikan, maka pohon akan diperlakukan sebagai barang yang harus disingkirkan. Kalau pun harus ada, ia tak lebih dari tanaman kecil yang harus hidup merana minim perawatan.

Kala musim kampanye tiba, banyak batang pohon tercekik kawat. Baliho dan spanduk kampaye menancapkan paku dengan sadis di batang pohon. Mereka menyakiti pohon tanpa ampun

Ketika pendapatan keluarga harus dicukupi, pendapatan daerah harus meningkat, jumlah rekening pejabat harus bertambah, nilai kekayaan pengusaha harus berlipat-lipat, maka pohon di hutan harus ditebas habis tanpa ada kompensasi. Mereka dengan membabi buta memusnahkan pepohonan. Pepohonan dan makhluk yang hidup dengannya harus tersingkir dengan sangat menyedihkan.

Saat musim kemarau tiba, udara panas terasa sangat mengesalkan. Hampir semua orang menginginkan kesejukan udara. Tidak ada yang bisa memberi kesejukan selain hembusan angin dari celah-delah dedaunan pohon. Semua orang merindukan dan mencari pepohonan.

Saat banjir datang, semua orang menjerit dan mengeluh. Mereka menyalahkan pihak yang telah menebangi pohon di hulu. Mereka merindukan pohon. Mereka ingin pepohonan tumbuh dan menyelamatkan nyawa anak cucu merkea kelak.

Saat udara di bumi semakin panas akibat perubahan iklim, semua orang mencari bibit pohon. Semua orang ingin menanam pohon. Bahkan pemimpin menyerukan setiap orang untuk menanam pohon. ”One man one tree,” Demikian seru pemimpin.

Kita mungkin pernah melakukan perbuatan tak menyenangkan atau menyakiti seseorang. Kita mungkin tak sengaja atau lalai hingga seseorang terzhalimi haknya. Bahkan kita mungkin pernah sangat membenci seseorang dalam kehidupan kita.

Namun pada saatnya orang-orang tersebut sangat kita butuhkan. Orang yang telah kita zhalimi menjadi orang yang sangat sangat kita cintai karena kita mendapat pelajaran berharga. Orang yang mendapat perlakuan tak adil telah memberi ”tamparan” yang akhirnya membuat kita mencitai-Nya dan menyayangi orang tersebut.

Tuhan berlaku adil pada setiap perilaku makhluk-Nya. Setiap ketidakadilan atau kezhaliman akan mendapat balasan-Nya. Pada saatnya orang yang kita benci atau kita zhalimi akan menjadi orang yang bisa menyadarkan kita. Akhirnya kita berbalik mencarinya, merindukannya dan mencintainya. Sungguh DIA Maha Adil.( Achmad Siddik Thoha/achmadsiddik@yahoo.com)Rata Penuh

Saturday, May 8, 2010

Pohon Inspirasi ( 2 )


Bila kita pernah melakukan perjalanan di hutan, maka akan ditemukan begitu banyak jenis pohon yang tumbuh. Jenis-jenis pohon yang berbeda ini tumbuh secara alami tanpa campur tangan manusia. Hutan dengan komposisi jenis yang beragam dan tumbuh secara alami seperti itu dinamakan disebut sebagai hutan alam.

Pada hutan alam, kita juga melihat perbedaan dari sisi yang lain. Perbedaan besarnya dan tingginya batang, bentuk dan susunan daun yang tak sama, struktur tajuk (struktur yang terbentu dari cabang dan daun). Perbedaan strata tau lapisan pohon dari bibit atau pohon kecil hingga besar membentuk kesatuan komunitas yang indah dan rapat. Kita juga dapat menyaksikan mereka menjadi tempat mencari makan dan tinggal dari hewan-hewan yang berbeda. Satu jenis atau famili hewan tertentu hanya bisa makan dari jenis atau famili pohon tertentu pula.

Jenis, bentuk dan tempat bagi hewan yang berbeda menghasilkan sebuah kesatuan masyarakat pepohonan yang harmonis. Meski diantara mereka saling berkompetisi untuk bertahan hidup, pepohonan yang berbeda di hutan alam membentuk lukisan alam yang indah. Mereka menyediakan kicauan burung yang berasal dari pohon-pohon yang berbeda dalam irama alam yang indah. Mereka juga menanungi tumbuhan-tumbuhan kecil, menyediakan tempat memanjat bagi tumbuhan pemanjat,. Mereka juga mempersilahkan tumbuhan jenis epifit, saprofit bahkan parasit untuk menumpang hidup secara damai. Hewan-hewan dibiarkan oleh mereka memetik buah, mencicipi daun bergelantungan diantara dahan-dahannya dan tidur dalam kehangatan tajuk.

Dunia pohon yang harmonis dalam keseragaman memberikan kemampuan bertahan hidup yang tinggi. Dalam keberagaman, pepohonan di hutan lebih tahan dari serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit hanya bisa menyerang jenis tertentu dan tidak bisa berkembang baik pada kondisi hutan yang sangat beragam jenisnya. Dalam keberagaman pepohonan mampu menyediakan kelembaban udara yang tinggi hingga sulit bagi mereka terbakar karena kondisinya yang sangat basah.

Hutan, dengan kumpulan pohonnya yang beragam ternyata menghasilkan manfaat yang sangat besar bagi lingkungannya. Hutan mampu menyerap banyak air di tanah dekat akar-akarnya. Tanah-tanah yang menyerap air ini mampu mengurangi banyaknya air yang menggeang dan menjadi aliran di permukaan tanah. Hutan sangat dibutuhkan untuk mencegah atau meminimalkan banjir saat air hujan membasahi bumi. Di musim kemarau, air yang tersimpan di perut bumi yang diatasnya tumbuh pepohonan mengalirkan air dari mata-mata air untuk lingkungannya. Hutan telah menjadi penyelamat saat hujan deras datang dan saat kemarau tiba.

Masyarakat tumbuhan telah mengajarkan kehidupan sosial yang damai dan saling memberi manfaat dari keragaman dan kompetisi.Keberagaman dari kehidupan pepohonan di alam menghasilkan harmoni hidup dan manfaat yang besar bagi lingkungan. Dalam komunitas manusia, hidup dalam ragam agama, budaya, pemikiran dan selera tak selalu berakhir harmonis dan memberi kekuatan dan manfaat yang lebih besar. Bahkan untuk melahirkan sebuah suasana tenang saja tidak selalu mudah. Hidup dalam keberagaman terkadang menghasilkan egoisme yang tinggi antar pribadi. Privasi adalah kata yang membuat setiap orang tidak saling peduli meski hidup berdempetan rumah, satu atap kos, bersebelahan bangku di angkutan umum, satu ruang kerja atau kondisi lain.

Hidup berdampingan pada komunitas kita tidak selalu menghasilkan manfaat yang lebih besar. Hidup berdampingan terkadang menciptakan prasangka dan komentar yang justru melemahkan semangat. Terkadang juga hidup besama dalam keberagaman memunculkan keenganan toleransi dan yang terburuk adalah saling curiga dan melemahkan satu sama lain.

Komunitas yang beragam yang terbina suasana toleransi, saling menghormati, peduli sesama, saling mengingatkan akan menghasilkan komunitas yang tangguh dan memberi manfaat besar bagi lingkungan. Bila terjadi guncangan, fitnah, provokasi, komunitas beragam yang harmonis akan tetap kokoh bersatu dan bahkan makin kokoh. Namun pada kondisi komunitas yang tidak harmonis, penuh prasangka negatif, minim toleransi dan saling melemahkan sangat sulit melahirkan karya yang bermanfaat.( Achmad Siddik Thoha/siddikthoha@yahoo.com )

Friday, May 7, 2010

Pohon Inspirasi ( 1 )


Tuhan menciptakan alam ini dalam keseimbangan yang sempurna. Kesimbangan menghasilkan harmoni kehidupan yang indah. Dalam keseimbangan terdapat interaksi yang sangat kuat dan saling membutuhkan. Satu komponen dalam keseimbangan maka komponen lain akan terganggu. Demikian pula yang terjadi pada pohon dan air yang merupakan komponen penting dalam sikus air atau peredaran air di bumi ini.

Peredaran air di bumi dipengaruhi oleh keberadaan tumbuhan termasuk pohon di dalamnya. Air hujan yang turun dari langit hingga kembali lagi ke langit melalui proses yang panjang. Benda pertama yang tertimpa butiran hujan adalah pohon. Hutan yang merupakan kumpulan makhluk hidup dan tak hidup yang didominasi oleh pohon menangkap hujan paling awal. Pohon adalah sosok hidup tetinggi di muka bumi. Ia menangkap dan menikmati hujan paling awal. Barulah makhluk-makhluk lain menikmati segarnya air melalui perjalanan panjang hujan di pohon.

Sebelum sampai ke tanah, air hujan harus melewati pohon terlebih dulu. Tetesan hujan ada yang diuapkan langsung saat menerpa daun, ada yang meloloskan diri melalui celah dedaunan dan ada yang mengalir perlahan di cabang dan batang. Curahan hujan deras yang tadinya keras tumbukannya, gemuruh bunyinya dan lebat jatuhnya, diredam oleh pepohonan. Air menjadi lemah benturannya, lembut bunyinya, menetes sedikit demi sedikit, mengalir perlahan setelah melewati pepohonan. Seolah mereka, pohon dan air bermain denga asyiknya. Air tak ingin segera jatuh ke bumi, ia senang dengan pohon yang menahannya dan mengajaknya berkelana di daun, ranting, cabang dan batang. Pohon pun merasakan belaian lembut air di cabang dan batangnya, menggelitik daun-daunnya dan mengguyur tajuknya laksana shower.

Air menjadi jernih karena pepohonan. Air mengalir tenang oleh sebab banyaknya pohon yang menangkapnya. Aliran air yang mengumpul di sungai takkan keruh dan bergemuruh mengerikan karena pohon menangkap, mendiamkannya cukup lama dan menembuskan ke dalam tanah dengan perlahan dan tenang. Kemudian tanah melepaskan air perlahan, tetang dan damai bagi kepentingan seluruh penghuni permukaan bumi.

Pohon dan air laksana pasangan serasi yang tak bisa dilepaskan. Pohon sangat butuh air dalam hidupnya. Tanpa air ia takkan bisa mengolah makanan. Tanpa air ia tak bisa menghasilkan bunga dan buah. Ketiadaan air membuat batang mengering dan daun-daunnya akan gugur. Air juga butuh pohon untuk menahannya lama di dalam bumi dan mengalir tenang di permukaan tanah. Bila pepohonan sudah tak lagi jadi tempat pertama jatuhnya air, maka bencana akan datang.

Air bisa ”mengamuk” karena kekasih pohonnya dirusak oleh manusia. Air akan menggerus tanah dengan kekuatan besar. Tanah-tanah yang tergerus akan menumpuk di sungai dan mengakibatkan pendangkalan. Curah hujan yang tinggi akan memenuhi sungai dan meluapkannya kemana saja. Air juga bergerak cepat dan ganas menghantam apa saja yang dilewatinya. Ia seolah ingin membalas perbuatan manusia yang telah menghilangkan kekasih abadinya.

Air juga tak mau tinggal lagi di tanah. Setelah ia berubah ujud menjadi banjir yang ganas, ia kemudian menguap cepat ke udara. Maka gersanglah tanah-tanah, keringlah sungai-sungai, tak terisinya sumur-sumur dan kerontanglah tetumbuhan serta merananya hewan dan manusia.

Air dan pohon laksana kekasih yang tak ingin berpisah. Ia adalah pasangan abadi yang diciptakan Tuhan di Alam. Air dan pohon satu sisi melambangkan kesetiaan dan sisi lain adalah kekuatan pembalasan pada para perusaknya. Ketika kita hidup dalam suasana kemesraan, maka lingkungan sekitar terasa aman dan damai. Hidup minim konflik, jarang percekcokan, perbedaaan yang saling mentoleransi dan keragaman dalam naungan cinta.

Namun bila seseorang kehilangan pasangan sejatinya, ia bisa mengalami gonjangan hidup. Keseimbangan hidup menjadi terganggu. Kadangkala goncangan hidup menjadi labil lalu menyebabkan ia merusak dirinya sendiri bahkan merugikan orang lain. Adakalanya guncangan hidup yang melanda seseorang dapat mengganggu berjalannya kehidupan orang banyak karena yang bersangkutan tidak melaksanakan tugasnya. Orang labil akan kehilangan kendali, melupakan amanah bahkan mengakibatkan kerusakan bagi diri dan lingkungannya.

Hidup ini akan damai, bila sepasang kekasih tidak dipaksa berpisah. Hidup tentram saat kemesraan kekasih tak dirusak. Indahnya hidup tanpa rasa iri, dengki dan hasud pada pasangan kekasih yang telah hidup damai. Namun hidup sengsara saat konflik memisahkan orangtua dengan anaknya, memisahkan istri dengan suaminya, melepaskan ikatan persaudaraan dan menghapus kenangan indah persahabatan.

Jangan perpanjang waktu pohon melepas rindu dengan kekasih abadinya, air. Jangan rusak kemesraan air dan pohon bila kita ingin hidup dalam suasana nyaman dan aman dari bencana.( Achmad Siddik Thoha/siddikthoha@yahoo.com )

Thursday, May 6, 2010

Taria, Diantara Mamberamo Raya dan Mamberamo Tengah


Kampung Taria, secara geografis berjarak kurang lebih 200 KM arah barat daya dari Bandar udara sentani, yang dapat ditempuh dalam waktu kurang dari dua jam menggunakan pesawat jenis cesna, Pilatus hingga jenis Caravan. Sementara menggunakan transportasi air, dapat ditempuh dalam waktu 4- 6 hari perjalanan dari pelabuhan Jayapura, menggunakan kapal perintis dengan tujuan pelabuhan Trimuris atau Kasonaweja, Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya. Setelah itu, dari Trimuris, menggunakan speed boad tujuan Dabra melalui sungai Mamberamo, dan selanjutnya dari Dabra menuju pelabuhan Taria bisa ditempuh dengan menggunakan perahu kole-kole yang digandeng dengan engine 15 PK atau mesin 10 PK ( ketinting ).

Kampung ini telah ada sejak Pemerintahan Kabupaten Jayapura tahun 1997, namun masih merupakan suatu wilayah rukun wilayah dari Kampung Dabra, selanjutnya pada tahun 2001, menjadi bagian dari Kampung Fuao, setelah itu, pada tahun 2007 menjadi kampung sendiri dalam wilayah Pemerintahan Distrik Mamberamo Hulu Kabupaten Mamberamo Raya.

Namun, ketika masyarakat di Kampung ini belum setahun bereforia dengan dengan kehadiran Kabupaten Mamberamo Raya, kini mereka dipusingkan dengan hadirnya Kabupaten Mamberamo Tengah yang diresmikan awal tahun 2008. Selanjutnya Kabupaten ini mengklaim wilayah Taria menjadi miliknya. Agar lebih menegaskan keberadaan Taria sebagai milik Kabupaten Mamberamo Tengah, tak tanggung-tanggung pejabat Bupatinya, yang meskipun hanya sebagai carateker, langsung mengeluarkan dana miliaran rupiah dengan mendatangkan perusahaan besar yang membawa peralatan berat, guna memulai pembangunan jalan dan lain sebagainya yang dimulai dari Kampung Taria.

Melihat hal itu, tak ketinggalan pejabat carateker Bupati Mamberamo Raya unjuk gigi, dirinya langsung membangun 60 unit rumah sehat di Kampung Taria untuk membuktikan dan menegaskan bahwa Taria merupakan wilayahnya. Sementara itu, Carateker Bupati Mamberamo Tengah tak mau kalau, jalan kota mulai di bangun, kantor dan rumah pegawai kini siap digunakan, air bersih dan PLN menjadi bukti keseriusannya, Masyarakat kian bingung, disisi lain mereka bernaung di rumah yang dibangun oleh Mamberamo Raya, namun di sisi lainnya, mereka juga kini menikmati air bersih dan penerangan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah.

“ Kami bingung, kami sebenarnya masuk di Kabupaten Mana?,” ungkap Yeremias Kabdo, ketua Baperkam Kampung Taria, saat ditanya tentang status keberadaan Kampung Taria. Hal itu pernah di tanyakan kepada kedua carateker Bupati, tapi keduanya tetap mengklaim Taria sebagai milik Pemerintahannya. Demikian halnya ketika mendapat kunjungan Wakil Gubernur Papua, hal itu pernah ditanyakan, tetapi tidak mendapat kejelasan dari Wakil Gubernur. “ Bapak Wakil Gubernur bilang, soal batas wilayah, nanti dari Pemerintah Provinsi yang atur, kalian rakyat hanya tau menikmati saja hasil-hasil Pembangunan yang Pemerintah lakukan,” jelas Yeremias Kabdo meniru ucapan Alex Hesegem, saat turkam ke kampungnya 2009 lalu.

Kepala Kampung Taria, Robert Foisa mengaku heran dengan ketidakjelasan itu.” Saya ini aparat dari Pemerintah Kabupaten Mamberamo Raya, dan semua warga di sini adalah orang Mamberamo Raya, tapi kenapa, kami tidak diberi penjelasan soal ini?kami ini milik Mamberamo Raya atau milik Mamberamo Tengah?,” ungkap Roberth. Dirinya tak ingin dituding makan untung dari kondisi itu, sehingga meminta kepada Pemerintah Provinsi Papua segera memperjelas status mereka.

Bahkan akibat kehadiran Mamberamo Tengah, kini di kampong Taria warganya mulai terpencar dengan membentuk Pemerintahan Kampung yang baru, sebelumnya hanya Kampung Taria, sekarang ada kampong Tariko dan Kampung Taria 2, dan sedang diupayakan untuk mendapat restu dari Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah. Wilayah yang dihuni oleh suku Taburta itu, kini telah dihuni pula oleh suku Gen dari Kobakma dan suku Wina dari Tolikara, yang cepat atau lambat, diduga akan menjadi sumber konflik.(yomo)

Tuesday, February 16, 2010

Mamberamo Raya Dalam Peta




Beberapa bagian dari lokasi study Yayasan Lingkungan Hidup Papua dapat dilihat dari beberapa peta yang dibuat sebagai berikut :

Saturday, January 30, 2010

Antara Janda, Keperawanan, dan Partai Politik


Seorang "Janda" yang sudah 3 kali kawin-cerai periksa di dokter kandungan. Waktu dokter mau periksa dalam, terjadi percakapan.

Janda : "Hati-hati periksanya ya dok, saya masih 'perawan' lho ...!"

Dokter: "Lho? Katanya ibu sudah kawin-cerai 3 kali, mana bisa masih perawan ...?"

Janda : "Gini lho dok, eks suami saya yang pertama ternyata impoten."

Dokter: "Oh gitu, tapi suami ibu yang ke-2 gak impoten kan?"

Janda : "Betul dok, cuma dia gay, jadi saya gak diapa-apain sama dia."

Dokter: "Lalu suami ibu yang ke-3 gak impoten dan bukan gay kan?"

Janda : "Betul dok, tapi ternyata dia itu orang 'partai politik'...."

Dokter: "Lalu apa hubungannya dengan keperawanan ibu ...?"

Janda : "Dia cuma janji-janji saja dok, 'gak pernah direalisasikan!!!"

Dokter: "?!?!?!?!????"

Monday, January 18, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 5/ Habis )


“ Setelah Dapat Dana Pemberdayaan dan Dana Respek, Kepala Kampung Lupa Kampung”

Masalah ekonomi, pendidikan, hingga masalah kesehatan yang kami temukan di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya, sebenarnya merupakan suatu persoalan klasik yang terjadi di hampir seluruh kampung yang tersebar di Tanah Papua, bahkan di seluruh wilayah Indonesia. Namun yang mengherankan bagiku adalah, Undang-Undang Otsus sudah berjalan lebih dari 8 tahun, dan selama itu pula dana triliunan rupiah terus menerus mengalir ke Pulau paling timur di Negeri Nusantara ini, tapi kenapa “kondisi itu” tidak secepatnya di atasi?

Laporan : Alberth Yomo

Sudah 5 kampung di daerah Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya aku kunjungi, yakni Noyadi, Kustra, Haya, Biri dan Bareri. Dari kunjungan itu, hanya 1 kepala Pemerintahan kampung yang berhasil aku jumpai, 4 lainnya tidak pernah aku lihat batang hidungnya, dengan alasan beragam, ada yang mengatakan sedang mengurus dana pemberdayaan kampung di Ibukota Kabupaten, adapula yang mengatakan sedang mengurus dana Respek di kantor Gubernur, bahkan yang lebih parah dikatakan bahwa Kepala Kampungnya sudah kawin dengan istri baru, jadi sudah lebih dari setahun tidak berada di Kampung.“ Mungkin Bapak Desa hanya sampai di Kasonaweja, setelah itu, dia balik lagi ke Jayapura,” tandas salah seorang warga di Kampung itu.
Dari berbagai sumber yang kami wawancarai di beberapa Kampung itu, terungkap jelas, bahwa sejak adanya dana pemberdayaan kampung yang diberikan Pemerintah ( Rp 200 Juta/kampung/ tahun ), dana tersebut diduga disalahgunakan oleh para kepala Kampung untuk kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan kampungnya sendiri.
Belum lagi ditambah dengan dana Respek program Gubernur Provinsi Papua ( Rp 100 Juta/ kampung/tahun ) yang baru terealisasi tahun 2009 di Kabupaten Mamberamo Raya, telah memberikan ruang yang sebesar-besarnya bagi para kepala kampung untuk “ semakin melupakan kampungnya”.
Model pembagian yang kami temui, salah satu misalnya ketika dana pemberdayaan kampung 2009 sebesar Rp 200 juta, di kampung Bareri, dibagi Rp 20 Juta kepada 6 kelompok tani, totalnya Rp 120 Juta, sisanya Rp 80 Juta, dana itu menurut Sekertaris Kampung, diperuntukan bagi operasional aparat. Sementara dana Respek Rp 100 Juta, dipakai beli mesin disel solar yang harganya Rp 26 Juta, dan sisa Rp 74 Juta dinyatakan habis untuk membeli perangkat listrik rumah, seperti kabel dan lampu. “ Rp 74 Juta habis untuk kabel dan lampu?,” tanyaku dengan nada heran.
Sementara di Kampung lainnya, ada yang mengatakan tidak tahu dengan dana pemberdayaan Kampung dan Dana Respek, karena kepala kampungnya tidak pernah di kampung, selalu titip sama orang dari Kasonaweja, lalu balik ke Jayapura.” Jadi Bapak Desa punya Kampung sekarang di Jayapura,” ujar salah satu warga.
Hal lainnya, bahwa setelah adanya program dana pemberdayaan kampung dan dana respek, telah merubah perilaku masyarakat di kampung. Mereka sudah tidak berpikir untuk bagaimana berusaha mendatangkan uang dari suatu kerja keras, tetapi cenderung menjadi pemalas yang menunggu kapan dana pemberdayaan cair dan kapan dana respek cair. Karena dari dana itulah, mereka bisa ke kota dan belanja sesuatu kebutuhan di kota.
Kondisi ini menurut hemat kami sangat menyesatkan, karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang tegas dengan aturan yang jelas, ditambah dengan proses pendampingan secara menyeluruh, dengan tipe pemimpin daerah yang bijak, maka sangat memungkin tercapainya suatu keadaan yang diharapkan bisa membaik. ***

Friday, January 15, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 4 )


“ Puskesmasnya Megah, Tapi Isinya Nol Sejak Di Bangun Tahun 2007”
Selain masalah pendidikan, hal lainnya yang kami temui di Kampung Bareri adalah menyangkut masalah kesehatan dan pelayanan kesehatan. Bagaimana kondisi kesehatan dan pelayanan kesehatan di Kampung ini, berikut laporannya…

Laporan : Alberth Yomo

Bas Towoli, seorang pemuda kampung Bareri, kondisi kesehatannya dikabarkan memburuk dan harus segera di larikan ke Puskesmas Fawi. Demikian desas-desus yang sore itu ramai diperbincangkan oleh warga sekampung, dan kami mendapatkan kabar itu langsung dari mulut Bapak Gembala, Daud Ausa.
“ Minggu lalu, dia pergi tebang pohon, lalu sebatang pohon kering jatuh dan menghajar dadanya. Dia baru rasa sekarang, dadanya sakit dan susah bernafas. Jadi, besok pagi kita akan menghantarnya ke Puskesmas Fawi,” jelas Daud Ausa.
Bas Towoli harus segera dilarikan ke Puskesmas Fawi yang merupakan suatu ibukota Distrik di Kabupaten Puncak Jaya, karena di situlah pusat pelayan kesehatan terdekat dari Kampung Bareri. Keluar dari kampung Bareri dengan longboat mesin 15 PK pukul 06.00 Wit, akan tiba sekitar pukul 12.00 Wit, hanya 6 jam, itupun jika air sungai meluap.
Tapi beruntung, saat itu kondisi sungai masih meluap, sehingga beberapa pria di Kampung itu, bisa membawa Bas keluar dari Kampung menuju Puskesmas Fawi, karena kabarnya di sana ada dokternya, sehingga mereka yakin Bas pasti ditolong oleh sang dokter.
Sementara Bas Towoli belum pulang ke Kampung, dua hari berikutnya, giliran seorang Ibu yang dikabarkan sedang pingsan saat melahirkan, akibat pendarahan hebat. Harus secepatnya dilarikan ke Puskesmas Fawi, demikian perintah Gembala pada keluarga. Namun sial, satu-satunya longboat yang ada di kampung, belum balik dari Fawi ketika mengantar Bas Towoli. Entah dengan ramuan alami atau apa, Ibu itu dapat diberi pertolongan pertama, sehingga berhasil sadar dan mendapat perawatan intensif dari bidan kampung, anaknya juga dikabarkan selamat.
Timbul pertanyaan ketika kasus itu terjadi, di manakah petugas kesehatan di kampung ini? Padahal di kampung itu berdiri dengan megah sebuah Puskesmas.” Puskesmas itu dibangun tahun 2007 oleh Pemerintah Sarmi, tapi sampai sekarang tidak difungsikan, tidak ada obat-obatan di dalam, rumahnya masih kosong, karena tidak ada suster atau mantri” jelas Daud Ausa tentang keberadaan sebuah bangunan mewah di Kampung Bareri itu.
Makanya, ketika ada warga yang sakit parah, terpaksa harus dilarikan ke Puskesmas Fawi, karena itulah pusat pelayanan kesehatan yang paling dekat dan memiliki beberapa tenaga medis dan seorang dokter.
Dabra dan Kasonaweja tidak mungkin, karena harus menempuh 3 hari perjalanan serta membutuhkan biaya yang sangat besar. Karena itu, sangat diharapkan ada kebijakan yang cepat dari Pemerintah Daerah untuk menempatkan seorang dokter atau petugas medis dilengkapi sarana prasarana pendukung Puskesmas di Kampung Bareri, sehingga dapat membantu melayani masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat di Kampung Bareri dan Kampung-Kampung sekitarnya. ( bersambung )

Thursday, January 14, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 3 )


“Anak-Anak SD Liburnya Berbulan-bulan, sekolahnya hanya 3 bulan”

Tingginya angka buta huruf di Kampung Bareri dan sekitarnya, merupakan bukti betapa lemahnya kinerja dan dedikasi aparat Pemerintah Daerah kita mengurus dunia pendidikan di Papua, padahal, para pejabat tahu dan sadar, bahwa pendidikan ini merupakan akar dari segala ilmu pengetahuan dan biang dari suatu cita-cita kesejahteraan. Tapi mengapa, masih banyak keprihatinan, seperti kondisi yang terjadi di Kampung Bareri?

Laporan : Alberth Yomo

Bangunannya adalah sebuah rumah panggung, tersusun dari balok dan papan yang berasal dari hutan di sekitarnya, pekerjanya bukan orang dari kampung, melainkan orang jawa, ternate, biak, serui dan lain-lain yang berasal dari luar kampung itu.
Bangunan itu adalah Sekolah Dasar Inpres Kampung Bareri yang dibangun dari tahun 1997 semasa Pemerintahan Kabupaten Jayapura di bawa kepemimpinan Bapak Ir Jan Piet Karafir. Hingga saat ini, bangunan itu masih dipakai sebagai tempat belajarnya 110 anak Kampung di Bareri dan Kampung-Kampung sekitarnya.
Meski jarang digunakan untuk proses belajar mengajar, namun pada beberapa bagian dari bangunan 2 kelas itu telah rusak oleh rayap atau cuaca. Namun, apapun bentuk bangunannya, jika tidak ditunjang oleh kualitas dan profesionalisme guru, tentu sia-sia saja.
SD ini sebenarnya memiliki seorang guru sekaligus Kepala Sekolah yang juga seorang PNS asal kampung itu, tetapi sangat disayangkan, perannya dikeluhkan oleh para orang tua murid. Karena, kegiatan belajar mengajar jarang dilakukan. “Nanti kalo mau Ujian, baru kepala sekolah panggil anak-anak masuk sekolah,” jelas salah satu orang tua di Kampung Bareri.
Dijelaskan oleh warga ini, biasanya anak-anak mereka libur berbulan-bulan, nanti 3 bulan jelang ujian , baru kepala sekolah mengumumkan di gereja untuk masuk sekolah.
Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Kepala Sekolah SD Inpres Bareri, Yahya Towoli, dirinya membantah, dan mengatakan, kalau proses belajar tidak berjalan, karena dirinya tidak dihargai sebagai guru, dimana ketika mengajar dalam kelas, tiba-tiba ada orang tua yang datang membawa anaknya untuk pergi kebun, tanpa meminta ijin kepadanya. Karena sering terjadi, dan dilakukan oleh hampir semua orang tua, akhirnya dirinya bertindak seperti itu.
Namun apapun alasannya, ini merupakan suatu kasus dan persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian serius. Apalagi keadaan ini bukan terjadi kemarin, tetapi sudah berlangsung lama, yang selanjutnya mengorbankan anak-anak, banyak yang tidak bisa baca dan tulis, walaupun sudah duduk di kelas 4, 5 atau 6.
Terkait persoalan itu, Sekertaris Desa Kampung Bareri, Roberth Towoli, pernah menghadap Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Raya, meminta tenaga guru lain untuk ditempatkan di kampung Bareri, karena dirinya sendiri ikut prihatin melihat kondisi anak-anak mereka di kampung, yang jauh ketinggalan dari teman-temannya di Ibukota Distrik dan Ibukota Kabupaten. Tetapi permintaannya itu sampai sekarang belum terkabulkan.
Roberth bahkan mengakui, bahwa memang benar, anak-anak di kampung Bareri tidak ada satupun yang bisa baca dan tulis, karena menurutnya, hal itu disebabkan oleh kegiatan belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya. ( Bersambung )

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 2 )


“ Harga se-liter bensin Rp 30.000, dan dibutuhkan lebih dari 200 liter untuk PP Ibukota Kabupaten”
Kondisi ketidaktahuan terhadap Bahasa Indonesia yang dialami kaum perempuan di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya, tak berbeda jauh dengan kaum perempuan yang ada di Kampung tetangga, yakni di Kampung Biri Distrik Mamberamo Tengah Timur. Keadaan ini merupakan gejala buta huruf, dan memang benar bahwa kami temukan ternyata angka buta huruf di daerah ini sangat tinggi. Seperti apa keberadaan kampung-kampung ini….

Laporan : Alberth Yomo

Perjalanan ke Kampung Bareri dapat ditempuh melalui dua jalur transportasi, jalur udara dengan menggunakan pesawat cesna dan jalur sungai menggunakan longboat atau motor temple. Meski memiliki lapangan terbang perintis, namun sudah dua tahun lebih tidak ada pesawat yang mendarat di Lapter ini.
Kami harus melalui lapangan terbang di Kampung Biri, dengan menggunakan jasa penerbangan Tariku Aviation, kurang lebih 1 jam 45 menit dari bandara sentani, kemudian sehari bermalam di Kampung Bareri, selanjutnya menuju Kampung Bareri yang jaraknya 13 kilometer dengan berjalan kaki kurang lebih 6 jam, menyusuri hutan dan sungai-sungai kecil.
Sedangkan melalui jalur sungai, rute perjalanannya dapat ditempuh dari Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya, di Kasonaweja atau dari pelabuhan Trimuris, dengan perjalanan kurang lebih 12 jam menggunakan speedboad atau 24 jam menggunakan longboat, dengan kebutuhan bensin lebih dari 200 liter untuk rute pulang pergi ke Ibukota Kabupaten. Namun, untuk rute ini, masyarakat biasanya menempuh dalam tiga hari perjalanan, dengan memilih bermalam di beberapa kampung sepanjang sungai Rouffaer.
Dengan kondisi demikian, akses masyarakat terhadap keadaan di luar kampungnya juga sangat terbatas, terutama ke pasar atau ke kota, dan hanya orang-orang tertentu, khususnya kaum pria yang dapat menjangkaunya. Karena sebelum ada bantuan motor temple pada tahun 2008 lalu, para kaum pria di Kampung ini biasanya berjalan kaki selama 6 hari untuk sampai di Ibukota Kasonaweja.
Biasanya mereka yang keluar dari kampung itulah, untuk beberapa tahun kemudian dapat berbicara bahasa Indonesia, karena pengaruh pergaulan dan interaksi dengan orang luar. Walaupun tidak sekolah , karena pergaulan dengan orang luar itu, mereka dapat berbahasa Indonesia dan mengenal huruf. Tetapi sayang, hal itu tidak berlaku bagi kaum perempuan, mereka seperti terpenjara dalam terali kayu di belantara hutan sana, sehingga kondisi itulah yang menyebabkan mereka saat ini masih terbelenggu dalam ketidaktahuan terhadap bahasa negaranya sendiri. ( Bersambung )

Tuesday, January 12, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 1 )



“ 100 Persen Kaum Perempuannya Tidak Bisa Berbahasa Indonesia”
Tiga Minggu tim kami berada di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya Provinsi Papua. Ada sejumlah hal aneh yang kami jumpai dan kami rasakan, karena situasi di Kampung ini sangat berbeda dengan apa yang sebelumnya kami pikirkan. Berikut sepenggal catatan yang kami tuangkan, untuk menggambarkan kondisi di kampung ini…

Laporan : Alberth Yomo

Yuli Pice Towoli, demikian nama yang tertera di kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat ( Jamkesmas ) yang disodorkan Demianus Towoli, ketika aku menanyakan nama anak gadisnya, yang lugu dan sangat rajin itu. Aku lupa tanggal dan bulannya, tetapi tahun lahirnya aku ingat, 1996. Artinya, Yuli Pice kini sudah berumur 13 tahun.
Yerbice, demikian gadis ini disapa oleh keluarganya dan orang sekampung, entah pengaruh dialeg atau apa, tapi itulah yang biasa aku dengar, ketika nama itu di sebut. Menurut Ayahnya, Demianus Towoli, Yerbice baru duduk di kelas 1 SD Inpres Kampung Bareri. Awalnya aku kaget dan bertanya pada ayahnya, kenapa anak se-usia itu baru duduk di kelas 1 SD, tetapi ayahnya hanya tersenyum tanpa mengatakan sesuatu.
Ya, walau dengan ucapan bahasa Indonesia yang agak kaku dan membingungkan, tapi aku dapat menangkap maksud kata demi kata yang diucapkan Demianus ketika kami melanjutkan perbincangan itu.
Selanjutnya aku ingin mencoba berbincang-bincang dengan Yerbice dan Ibunya, tetapi keinginan itu tidak dapat terwujud, karena baik Yerbice maupun Ibunya tidak dapat berbahasa Indonesia. Beberapa hari kemudian, kami coba menyapa Istri kepala kampung,ternyata hanya dibalas dengan senyuman, tidak ada sepatah kata, demikian juga dengan Ibu-Ibu lainnya di Kampung itu, semua membalas dengan senyuman, ketika kami menegur mereka.
“ Ibu-Ibu dong tidak bisa bahasa Indonesia, kalo laki-laki boleh,” terang Naftali Towoli, salah satu warga di kampung itu. “ Semua tidak bisa bahasa Indonesia,” tanyaku. Naftali mengangguk, tanda mengiyahkan. Naftali mungkin merupakan satu dari beberapa pria di Kampung itu yang bisa berbicara bahasa Indonesia dengan baik. Selain Naftali, ada juga Anton, Zadrak, Yulius, Bapak Gembala dan Bapak Sekertaris Kampung yang sudah lancar berbahasa Indonesia, sehingga atas bantuan mereka, kami bisa bercerita dan mengetahui banyak hal tentang kehidupan masyarakat di kampung itu.
Selama beberapa hari berada di kampung itu, kami merasa seperti orang yang benar-benar asing, apalagi ketika para juru bahasa kami sedang pergi mencari di dusunnya masing-masing. Karena itu, selang beberapa hari kemudian, kami memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan para juru bahasa kami di dusunnya masing-masing, baik itu saat berburu, ke kebun atau saat melakukan kegiatan lainnya di hutan. ( Bersambung )