Friday, September 10, 2010

Catatan Perjalanan Dari Kampung Metaweja, Kabupaten Mamberamo Raya ( Bagian-2 )


“ Kami anak batu, sudah Bisaa jalan tanpa sepatu, jadi jangan Tanya soal sanggup atau tidak”

Laporan : Alberth Yomo

Bukan hanya Petu dan Ibunya, bersama kami, ada juga Hans Soromoja, salah satu porter kami yang mengalami hal yang sama. Remaja kelas II SMA ini juga mengalami demam tinggi. “ Saya tidak mau tinggal di sini, lebih baik saya ke Kasonaweja, supaya bisa dapat obat,” ujar Hans, ketika ia disarankan untuk tinggal, karena demam tinggi yang dialaminya.

Hans disarankan untuk tinggal bukan tanpa alas an, karena perjalanan yang akan ditempuh ini dikuatirkan sangat beresiko memperparah keadaannya, karena perjalanan ini selain jauh ( 69 Km ), jalannya juga tak mulus, yakni jalan di atas bebatuan tajam, puluhan bahkan ratusan kali masuk dan keluar menyeberangi sungai, panasnya terik matahari, kekuatiran akan turunnya hujan dan banjir, dan berbagai resiko lainnya.

Tetapi bagi Hans, Petu dan Ibundanya, ancaman itu bukanlah hal yang baru, tetapi sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka di Metaweja. Hans bahkan menyebut diri mereka adalah “anak batu”, artinya mereka tumbuh dan besar dalam kondisi alam seperti itu, jadi tajamnya batu kali, sama sekali tidak membuat telapak kaki mereka pilu, karena telah terBisaa. “ Kami anak batu, sudah Bisaa jalan tanpa sepatu, jadi jangan tanya soal sanggup atau tidak,” ujar Hans.

Aku mencoba melepas sepatu boat dan meniru langkah mereka dengan berjalan tanpa sepatu, aku tak sanggup ketika melangkah sekitar 100 meter, belum lagi melewati hutan yang dipenuhi lintah, aku melihat punggung kaki hingga betis mereka ditumpuki lintah pengisap darah, ketika lintah itu dibersihkan, tampak kaki mereka seperti diiris-iris dengan silet, terlihat darah segar membasahi punggung kaki dan betis kaki mereka, tetapi itu dianggap Bisaa-Bisaa saja.

Ketika dalam perjalanan, Panus mengungkapkan, bahwa obat parasetamol yang aku berikan, ternyata manjur, sehingga demam yang dialami Petu sang pasien kecil sudah menurun dan kondisi Petu sedang dalam keadaan baik, demikian pula dengan Ibunya. Sementara Hans, hanya menghangatkan tubuhnya dekat api yang menyala, ketika kami sedang beristirahat dan bermalam dalam perjalanan itu. Kondisi Hans, benar-benar membuat aku panic,karena terlihat jelas ia menahan rasa sakit itu, tetapi disisi lain, aku melihatnya sebagai seorang remaja yang kuat, meski dalam kondisi demikian, ia mampu bertahan hingga kami tiba di Kasonaweja.

Tetapi yang aku salut, meski perjalanan itu jauh dan ditempuh dalam waktu tiga hari berjalan kaki, namun aku merasa seperti sedang berwisata di hutan dengan guide-guide local yang luar Bisaa. Tim di bagi dua, satunya jalan mendahului guna menyiapkan makan ala kadarnya, sementara tim lainnya mengawal aku dan temanku berjalan di belakang. Ketika tiba pada suatu titik, aku sering terkejut, karena selalu ada kejutan yang melegahkan hati yang dilakukan oleh tim pertama.

Mereka seakan mengetahui apa yang sedang aku rasakan. Ketika haus, tiba-tiba di depan jalan sudah ada air kelapa muda, ketika perut keroncongan, di depan jalan sudah di siapkan makan ala kadarnya. Ketika kepanasan, diajak berendam dalam air sungai, sambil menyelam mencari ikan dengan sumpit, jika dapat, kami membakar lalu menikmatinya bersama. Hingga gelap menghampiri, kamipun membaringkan tubuh dalam bevak sempit, menanti esok untuk kembali melanjutkan perjalanan.( Bersambung )

Thursday, September 9, 2010

Catatan Perjalanan Dari Kampung Metaweja, Kabupaten Mamberamo Raya ( Bagian-1 )


“ Tempuh perjalanan sejauh 69 km untuk berobat anak yang sedang sakit”

Laporan: Alberth Yomo

Pagi itu, cuaca sangat dingin, mentari pagi perlahan mulai menampakkan wajahnya dari balik gunung kwanima, seakan takut dengan munculnya sang mentari, kabut putih yang semula menutup perkampungan metaweja,mulai lenyap dari hadapanku. Tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang anak kecil dari balik rumah berdinding gabah yang berada di sebelah rumah tempat kami menginap, suara itu seakan memecah kesunyian pagi.

Tangisan semakin keras terdengar, seiring dengan bentakan suara seorang wanita dewasa, tampaknya seorang Ibu yang sedang membujuk anaknya agar tak menangis lagi, namun sang anak tak menghiraukan bujukkan ibunya, ia terus merengek, sehingga membuat sang Ibu menjadi resah lalu membentak anaknya.

Sejam kemudian, datanglah guide kami dan memberitahukan, kalau suara tangisan tadi adalah tangisan seorang anak benama Petu, berumur setahun lebih yang mengalami demam tinggi, sehingga ia memohon bantuan kepada kami, kalau sekiranya ada obat pada kami, untuk membantu menurunkan panas anak tersebut. Dan kebetulan aku masih menyimpan 3 butir obat generic Parasetamol, lalu aku berikan dengan petunjuk agar diberi setengahnya yang diaduk dalam sendok makan lalu memberi minum obat itu kepada Petu.

“Sudah lama tidak ada petugas kesehatan di kampung ini, jadi kalau ada orang yang sakit, kami akan berusaha membawanya ke Kasonaweja ( Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya)” ungkap Panus Sawai, seorang penginjil yang telah mengabdi hamper 19 tahun di wilayah kepala air sungai Apawer, termasuk di Kampung Metaweja, tempat asalnya.

Panus mengungkapkan, bukan hanya Petu yang sakit, tetapi ibunya juga dalam keadaan sakit, sepertinya gejala sakit malaria, sehingga ia menyarankan untuk segera bergegas menuju Kasonaweja. Kebetulan pada saat yang bersamaan, kamipun akan meninggalkan Metaweja menuju Kasonaweja, jadi pasien kecil ini bersama ibunya, atas pertimbangan Panus, akan ikut dalam rombongan kami berjalan menuju Kasonaweja, dengan menempuh perjalanan kurang lebih 69 km menyusuri sungai dan hutan selama tiga hari perjalanan untuk bisa tiba di Kasonaweja.( Bersambung )

Manfaat Lebih Berharga dari Fisik


Pohon memiliki nilai yang sangat berharga. Berharganya pohon tidak sekedar dinilai dari fisiknya berupa akar, batang, cabang, ranting, daun dan buah yang bisa dimanfaatkan langsung. Berharganya pohon terletak pada manfaatnya yang justru tidak dapat dilihat langsung tapi begitu nyata. Pohon bernilai tinggi bukan pada fisiknya, namun pada fungsi atau manfaatnya.

Bila fisik pohon yang kita manfaatkan, maka kita hanya bisa merasakan nilai kecil di dalamnya. Kita hanya bisa menilai kayu sebagai bahan bangunan dan alat-alat rumah tangga. Kita hanya bisa menghargai kertas dan pensil sebagai alat tulis. Kita bisa menikmati sedapnya buah dan rasa dedaunan. Kita bisa merasakan kehangatan dari terbakarnya ranting dan cabang kayu. Kita bisa merasakan khasiat obat ari akar-akar pohon. Kita juga bisa dapat memiliki hiasan dari kerajinan dari bahan yang bersal dari pohon. Nilai fisik pohon hampir bisa dijangkau harganya oleh semua orang.

Bila fungsi pohon yang akan kita nikmati, maka nilainya akan sangat tinggi. Pohon memberi oksigen bagi lingkungan yang tak bisa digantikan oleh makhluk lain. Pohon dapat mengatur air meresap dan mengalir ke tempat yang dibutuhkan makhluk hidup. Pohon dapat meredam cahaya matahari yang sangat terik saat siang serta menahan hilangnya panas dari permukaan bumi hingga bumi dalam kondisi hangat pada malam hari. Pohon menjadi tempat bermain dan bersarang yang nyaman bagi satwa yang sangat yang juga diperlukan manusia. Pohon menyediakan keindahan yang membuat pikiran dan perasaan manusia menjadi lebih baik.

Berapa harga yang sanggup kita bayar untuk bisa menghirup oksigen. Berapa banyak uang yang akan kita guakan untuk mengusir panas dan menghangatkan badan ketika cuaca ekstrim. Seberapa tinggi harga yang sanggup kita berikan untuk bisa menikmati atraksi dan suara satwa. Seberapa besar kesediaan kita membayar untuk menyegarkan pikiran dan emosi kita dengan menikmati pemandangan yang hijau dan alami serta udara yang segar. Sebesar apa pengorbanan yang akan kita keluarkan agar produktifitas kerja tidak berkurang karena kondisi cuaca yang tidak nyaman, udara yang tidak segar serta pemandangan lingkungan kerja yang menjenuhkan. Semua itu pasti akan kita bayar dengan sangat mahal.

Manusia secara fisik memang memiliki nilai yang sangat berharga. Anggota tubuh kita sangatlah berharga. Keindahan fisik dapat bernilai tinggi bagi sebagian manusia. Sosok fisik tidak jarang menjadi penilaian tingginya ”harga” manusia. Namun seringkali penilaian itu sangat relatif dan tidak berlangsung lama. Tidak jarang fisik yang menarik tidak dapat berdaya manfaat tinggi dan akhirnya tidak mendapat apresiasi tinggi pula dari sesamanya.

Manfaat yang muncul dari sosok manusia itulah yang sangat bernilai bahkan sulit dihitung harganya. Akal dan budi manusialah yang menjadikan manusia menjadi makhluk yang mulia diantara seluruh ciptaan-Nya. Mulianya manusia terletak bagaimana mengoptimalkan manfaat dari akal dan budinya.

Akal bila dioptimalkan daya dan fungsinya akan melahirkan karya yang nilainya sangatlah tinggi dan luas manfatnya. Akal yang berfungsi maksimal dapat menjadi sarana untuk mengenal Yang Maha Pencipta. Akal dapat membuka tabir rahasia alam semesta dan membuat manusia mampu mengemban amanah sebagai pemakmur bumi.

Budi atau akhlak merupakan aktifitas hati yang berasal dari pengetahuan, pemahaman, penghayatan, prinsip, pembiasaan dan karakterisasi diri. Dengan hati, manusia bisa mencapai derajat tinggi dari pandangan Tuhan dan manusia sekitarnya. Manusia berhati mulialah yang dapat menjadi acuan hidup bagi yang lainnya. Manusia yang mengoptimalkan hatinya akan mendapat kebahagiaan hidup yang nilainya tak dapat tergantikan oleh materi. Bukankah muara dari pencapaian hidup manusia adalah kebahagiaan. Ya, kebahagiaan di dunia ini dan kebahagiaan kelak setelah berjumpa dengan Tuhannya.

Bukankah manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya, bukan yang paling indah fisiknya, bangsawan asal muasalnya, kaya orang tuanya dan pejabat kerabatnya. Selamat bermanfaat bagi sesama dan lingkungan.(Achmad Siddik Thoha siddikthoha@yahoo.com)

Monday, May 10, 2010

Pohon Inspirasi ( 4 )


Benih Beringin (Ficus Annulata) itu jatuh juga setelah menempuh perjalanan jauh. Bersama burung ia mengakhiri perjalanannya di rimbunnya belantara hutan. Sayang, benih itu tidak sampai ke tanah. Ia tersangkut di cabang pohon besar.
”Ah tak apalah, aku masih bisa hidup disini.” bisik benih Beringin. Lalu ia meminta ijin untuk hidup bersama pohon besar.
” Pohon besar, ijinkan aku hidup bersamamu sampai aku kuat dan besar.” pinta benih Beringin.
”Silakan, suatu saat engkau akan memberi manfaat besar bagi yang lain.”
Pohon besar berbaik hati untuk menjadi pohon inang (host tree = pohon yang ditumpangi) bagi benih Beringin.

Hari demi hari, benih Beringin tumbuh cepat. Keluarlah daun dan batang kecil. Beringin kecil mendapat matahari dan air tanpa mengganggu pohon besar. Akar beringin menjulur menggantung ke bawah untuk membantunya bernafas. Beringin hidup secara epifit, hidup berdampingan tanpa mengganggu dan sedikit mengambil makanan dari pohon besar. Pohon besar rela berbagi sedikit makanan dengan Beringin kecil.

Beringin mulai tumbuh membesar. Akarnya juga tumbuh makin besar dan panjang. Beringin perlu makanan yang lebih banyak. Tak cukup hanya mengandalkan sedikit makanan dari pohon besar. Ia merambatkan akar-akarnya di batang pohon besar. Beringin pun makin besar dan akarnya kini telah menghujam ke tanah. Makin lama akar Beringin makin besar menyerupai batang. Akar beringin telah membelit kuat pohon besar. Pohon besar masih bersabar menerima Beringin hidup disisinya.

Lama kelamaan beban beringin di pohon besar makin berat. Akar-akar yang jumlahnya ratusan julur, yang tadinya kecil dan halus makin mengeras dan melilit pohon besar hingga tumpang tindih. Bagian atas beringin sudah tumbuh menjadi batang yang besar dan makin mencekik pohon besar. Hingga pohon besar hampir tidak nampak lagi.

Pohon besar menyadari dirinya tak kuat lagi menahan pesatnya pertumbuhan Beringin Ia juga telah berumur lanjut. Ia tidak mau bersaing dengan beringin. Meski ia tahu beringin awalnya hanyalah makhluk kecil tak berdaya yang menumpang hidup diketiak batangnya. Ia pula yang dengan ikhlas menyuapi makanan saat kecil.

”Ah, tak apa-apa. Aku bahagia ketika beringin menjadi kuat. Lihatlah sekarang... monyet, serangga dan banyak hewan lain mendapat makanan dan perlindungan disini. Beringin telah mengundang banyak hewan kemari. Di masa tuaku, aku sangat bahagia, karena keberadaanku makin bermakna dengan kehadiran Beringin.” ungkap pohon besar pada seekor burung yang tiap hari hinggap di tubuhnya. Akhirnya pohon besar itu mati

Memang begitu adanya. Beringin mencekik pohon besar bukan untuk menzhaliminya. Beringin telah membuat lingkungan yang nyaman bagi burung dan serangga bersarang. Buah beringin yang lezat memberi gizi yang banyak bagi burung hingga tulang dan cangkang telurnya kuat. Kelak burung-burung inilah yang akan menyebarkan biji-biji ke berbagai tempat hingga Beringin memberi dampak yang besar bagi lingkungan.

Sia-siakah kematian Pohon Besar? Ternyata tidak. Ia menyediakan lubang yang nyaman bagi bersarangnya serangga penghasil madu. Serangga ini mempunyai rumah mewah. Lubang yang luas dan nyaman serta makanan berlimpah dari bunga-bunga beringin. Serangga ini tidak hanya makan, ia sekaligus menyerbuki bunga-bunga hingga buah Beringin makin lebat. Beringin dengan payung daun dan cabangnya yang besar, juga menjadi tempat berlindung bagi rusa dan hewan mamalia lain dari udara panas.

Indah sekali kehidupan harmonis dari pohon besar dan Beringin pencekik ini. Pohon besar dengan ikhlas dan prasangka baiknya membuat Beringin tumbuh menjadi sosok yang kuat dan pelindung bagi makhluk lain. Kekuatan memberi dari pohon besar telah memberi manfaat yang lebih luas. Meski ia tercekik, terambil makanannya, terhalangi tubuhnya dari matahari, ia tak marah. Pohon besar sangat paham, bila ia mengusir beringin kecil dulu, maka ia hanya sebatang pohon dengan sedikit manfaat. Namun karena kelapangan hatinya , kesabarannya menerima, mendidik dan melayani Beringin maka ia menjadi pohon yang nyaman bagi tumbuhnya generasi kuat dan mampu memberikan banyak manfaat. Semoga kita dapat meneladani sikap pohon besar yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi kepentingan makhluk lainnya. Demi kelangsungan hidup makhluk-makhluk di sekitarnya.

Achmad Siddik Thoha
siddikthoha@yahoo.com

Sunday, May 9, 2010

Pohon Inspirasi ( 3 )


Saat kita ingin memperluas bangunan rumah dan membangun gedung lainnya, seringkali pepohonan menjadi obyek yang harus dimusnahkan. Bangunan dan lahan berbeton lebih kita cintai daripada pohon. Kita memperlakukan pohon dengan sewenang-wenang.

Saat kita jaringan listrik dan telepon terbelit ranting pohon, maka tanpa pikir panjang pohon akan ditebas bahkan ditumbangkan. Kawat hitam semrawut lebih kita sukai daripada pohon. Kita memperlakukan pohon dengan tidak adil.

Saat jalan harus diperluas, ketika harus menanam tanaman semusim atau ketika fasilitas umum akan didirikan, maka pohon akan diperlakukan sebagai barang yang harus disingkirkan. Kalau pun harus ada, ia tak lebih dari tanaman kecil yang harus hidup merana minim perawatan.

Kala musim kampanye tiba, banyak batang pohon tercekik kawat. Baliho dan spanduk kampaye menancapkan paku dengan sadis di batang pohon. Mereka menyakiti pohon tanpa ampun

Ketika pendapatan keluarga harus dicukupi, pendapatan daerah harus meningkat, jumlah rekening pejabat harus bertambah, nilai kekayaan pengusaha harus berlipat-lipat, maka pohon di hutan harus ditebas habis tanpa ada kompensasi. Mereka dengan membabi buta memusnahkan pepohonan. Pepohonan dan makhluk yang hidup dengannya harus tersingkir dengan sangat menyedihkan.

Saat musim kemarau tiba, udara panas terasa sangat mengesalkan. Hampir semua orang menginginkan kesejukan udara. Tidak ada yang bisa memberi kesejukan selain hembusan angin dari celah-delah dedaunan pohon. Semua orang merindukan dan mencari pepohonan.

Saat banjir datang, semua orang menjerit dan mengeluh. Mereka menyalahkan pihak yang telah menebangi pohon di hulu. Mereka merindukan pohon. Mereka ingin pepohonan tumbuh dan menyelamatkan nyawa anak cucu merkea kelak.

Saat udara di bumi semakin panas akibat perubahan iklim, semua orang mencari bibit pohon. Semua orang ingin menanam pohon. Bahkan pemimpin menyerukan setiap orang untuk menanam pohon. ”One man one tree,” Demikian seru pemimpin.

Kita mungkin pernah melakukan perbuatan tak menyenangkan atau menyakiti seseorang. Kita mungkin tak sengaja atau lalai hingga seseorang terzhalimi haknya. Bahkan kita mungkin pernah sangat membenci seseorang dalam kehidupan kita.

Namun pada saatnya orang-orang tersebut sangat kita butuhkan. Orang yang telah kita zhalimi menjadi orang yang sangat sangat kita cintai karena kita mendapat pelajaran berharga. Orang yang mendapat perlakuan tak adil telah memberi ”tamparan” yang akhirnya membuat kita mencitai-Nya dan menyayangi orang tersebut.

Tuhan berlaku adil pada setiap perilaku makhluk-Nya. Setiap ketidakadilan atau kezhaliman akan mendapat balasan-Nya. Pada saatnya orang yang kita benci atau kita zhalimi akan menjadi orang yang bisa menyadarkan kita. Akhirnya kita berbalik mencarinya, merindukannya dan mencintainya. Sungguh DIA Maha Adil.( Achmad Siddik Thoha/achmadsiddik@yahoo.com)Rata Penuh