Saturday, January 30, 2010

Antara Janda, Keperawanan, dan Partai Politik


Seorang "Janda" yang sudah 3 kali kawin-cerai periksa di dokter kandungan. Waktu dokter mau periksa dalam, terjadi percakapan.

Janda : "Hati-hati periksanya ya dok, saya masih 'perawan' lho ...!"

Dokter: "Lho? Katanya ibu sudah kawin-cerai 3 kali, mana bisa masih perawan ...?"

Janda : "Gini lho dok, eks suami saya yang pertama ternyata impoten."

Dokter: "Oh gitu, tapi suami ibu yang ke-2 gak impoten kan?"

Janda : "Betul dok, cuma dia gay, jadi saya gak diapa-apain sama dia."

Dokter: "Lalu suami ibu yang ke-3 gak impoten dan bukan gay kan?"

Janda : "Betul dok, tapi ternyata dia itu orang 'partai politik'...."

Dokter: "Lalu apa hubungannya dengan keperawanan ibu ...?"

Janda : "Dia cuma janji-janji saja dok, 'gak pernah direalisasikan!!!"

Dokter: "?!?!?!?!????"

Monday, January 18, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 5/ Habis )


“ Setelah Dapat Dana Pemberdayaan dan Dana Respek, Kepala Kampung Lupa Kampung”

Masalah ekonomi, pendidikan, hingga masalah kesehatan yang kami temukan di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya, sebenarnya merupakan suatu persoalan klasik yang terjadi di hampir seluruh kampung yang tersebar di Tanah Papua, bahkan di seluruh wilayah Indonesia. Namun yang mengherankan bagiku adalah, Undang-Undang Otsus sudah berjalan lebih dari 8 tahun, dan selama itu pula dana triliunan rupiah terus menerus mengalir ke Pulau paling timur di Negeri Nusantara ini, tapi kenapa “kondisi itu” tidak secepatnya di atasi?

Laporan : Alberth Yomo

Sudah 5 kampung di daerah Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya aku kunjungi, yakni Noyadi, Kustra, Haya, Biri dan Bareri. Dari kunjungan itu, hanya 1 kepala Pemerintahan kampung yang berhasil aku jumpai, 4 lainnya tidak pernah aku lihat batang hidungnya, dengan alasan beragam, ada yang mengatakan sedang mengurus dana pemberdayaan kampung di Ibukota Kabupaten, adapula yang mengatakan sedang mengurus dana Respek di kantor Gubernur, bahkan yang lebih parah dikatakan bahwa Kepala Kampungnya sudah kawin dengan istri baru, jadi sudah lebih dari setahun tidak berada di Kampung.“ Mungkin Bapak Desa hanya sampai di Kasonaweja, setelah itu, dia balik lagi ke Jayapura,” tandas salah seorang warga di Kampung itu.
Dari berbagai sumber yang kami wawancarai di beberapa Kampung itu, terungkap jelas, bahwa sejak adanya dana pemberdayaan kampung yang diberikan Pemerintah ( Rp 200 Juta/kampung/ tahun ), dana tersebut diduga disalahgunakan oleh para kepala Kampung untuk kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan kampungnya sendiri.
Belum lagi ditambah dengan dana Respek program Gubernur Provinsi Papua ( Rp 100 Juta/ kampung/tahun ) yang baru terealisasi tahun 2009 di Kabupaten Mamberamo Raya, telah memberikan ruang yang sebesar-besarnya bagi para kepala kampung untuk “ semakin melupakan kampungnya”.
Model pembagian yang kami temui, salah satu misalnya ketika dana pemberdayaan kampung 2009 sebesar Rp 200 juta, di kampung Bareri, dibagi Rp 20 Juta kepada 6 kelompok tani, totalnya Rp 120 Juta, sisanya Rp 80 Juta, dana itu menurut Sekertaris Kampung, diperuntukan bagi operasional aparat. Sementara dana Respek Rp 100 Juta, dipakai beli mesin disel solar yang harganya Rp 26 Juta, dan sisa Rp 74 Juta dinyatakan habis untuk membeli perangkat listrik rumah, seperti kabel dan lampu. “ Rp 74 Juta habis untuk kabel dan lampu?,” tanyaku dengan nada heran.
Sementara di Kampung lainnya, ada yang mengatakan tidak tahu dengan dana pemberdayaan Kampung dan Dana Respek, karena kepala kampungnya tidak pernah di kampung, selalu titip sama orang dari Kasonaweja, lalu balik ke Jayapura.” Jadi Bapak Desa punya Kampung sekarang di Jayapura,” ujar salah satu warga.
Hal lainnya, bahwa setelah adanya program dana pemberdayaan kampung dan dana respek, telah merubah perilaku masyarakat di kampung. Mereka sudah tidak berpikir untuk bagaimana berusaha mendatangkan uang dari suatu kerja keras, tetapi cenderung menjadi pemalas yang menunggu kapan dana pemberdayaan cair dan kapan dana respek cair. Karena dari dana itulah, mereka bisa ke kota dan belanja sesuatu kebutuhan di kota.
Kondisi ini menurut hemat kami sangat menyesatkan, karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang tegas dengan aturan yang jelas, ditambah dengan proses pendampingan secara menyeluruh, dengan tipe pemimpin daerah yang bijak, maka sangat memungkin tercapainya suatu keadaan yang diharapkan bisa membaik. ***

Friday, January 15, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 4 )


“ Puskesmasnya Megah, Tapi Isinya Nol Sejak Di Bangun Tahun 2007”
Selain masalah pendidikan, hal lainnya yang kami temui di Kampung Bareri adalah menyangkut masalah kesehatan dan pelayanan kesehatan. Bagaimana kondisi kesehatan dan pelayanan kesehatan di Kampung ini, berikut laporannya…

Laporan : Alberth Yomo

Bas Towoli, seorang pemuda kampung Bareri, kondisi kesehatannya dikabarkan memburuk dan harus segera di larikan ke Puskesmas Fawi. Demikian desas-desus yang sore itu ramai diperbincangkan oleh warga sekampung, dan kami mendapatkan kabar itu langsung dari mulut Bapak Gembala, Daud Ausa.
“ Minggu lalu, dia pergi tebang pohon, lalu sebatang pohon kering jatuh dan menghajar dadanya. Dia baru rasa sekarang, dadanya sakit dan susah bernafas. Jadi, besok pagi kita akan menghantarnya ke Puskesmas Fawi,” jelas Daud Ausa.
Bas Towoli harus segera dilarikan ke Puskesmas Fawi yang merupakan suatu ibukota Distrik di Kabupaten Puncak Jaya, karena di situlah pusat pelayan kesehatan terdekat dari Kampung Bareri. Keluar dari kampung Bareri dengan longboat mesin 15 PK pukul 06.00 Wit, akan tiba sekitar pukul 12.00 Wit, hanya 6 jam, itupun jika air sungai meluap.
Tapi beruntung, saat itu kondisi sungai masih meluap, sehingga beberapa pria di Kampung itu, bisa membawa Bas keluar dari Kampung menuju Puskesmas Fawi, karena kabarnya di sana ada dokternya, sehingga mereka yakin Bas pasti ditolong oleh sang dokter.
Sementara Bas Towoli belum pulang ke Kampung, dua hari berikutnya, giliran seorang Ibu yang dikabarkan sedang pingsan saat melahirkan, akibat pendarahan hebat. Harus secepatnya dilarikan ke Puskesmas Fawi, demikian perintah Gembala pada keluarga. Namun sial, satu-satunya longboat yang ada di kampung, belum balik dari Fawi ketika mengantar Bas Towoli. Entah dengan ramuan alami atau apa, Ibu itu dapat diberi pertolongan pertama, sehingga berhasil sadar dan mendapat perawatan intensif dari bidan kampung, anaknya juga dikabarkan selamat.
Timbul pertanyaan ketika kasus itu terjadi, di manakah petugas kesehatan di kampung ini? Padahal di kampung itu berdiri dengan megah sebuah Puskesmas.” Puskesmas itu dibangun tahun 2007 oleh Pemerintah Sarmi, tapi sampai sekarang tidak difungsikan, tidak ada obat-obatan di dalam, rumahnya masih kosong, karena tidak ada suster atau mantri” jelas Daud Ausa tentang keberadaan sebuah bangunan mewah di Kampung Bareri itu.
Makanya, ketika ada warga yang sakit parah, terpaksa harus dilarikan ke Puskesmas Fawi, karena itulah pusat pelayanan kesehatan yang paling dekat dan memiliki beberapa tenaga medis dan seorang dokter.
Dabra dan Kasonaweja tidak mungkin, karena harus menempuh 3 hari perjalanan serta membutuhkan biaya yang sangat besar. Karena itu, sangat diharapkan ada kebijakan yang cepat dari Pemerintah Daerah untuk menempatkan seorang dokter atau petugas medis dilengkapi sarana prasarana pendukung Puskesmas di Kampung Bareri, sehingga dapat membantu melayani masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat di Kampung Bareri dan Kampung-Kampung sekitarnya. ( bersambung )

Thursday, January 14, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 3 )


“Anak-Anak SD Liburnya Berbulan-bulan, sekolahnya hanya 3 bulan”

Tingginya angka buta huruf di Kampung Bareri dan sekitarnya, merupakan bukti betapa lemahnya kinerja dan dedikasi aparat Pemerintah Daerah kita mengurus dunia pendidikan di Papua, padahal, para pejabat tahu dan sadar, bahwa pendidikan ini merupakan akar dari segala ilmu pengetahuan dan biang dari suatu cita-cita kesejahteraan. Tapi mengapa, masih banyak keprihatinan, seperti kondisi yang terjadi di Kampung Bareri?

Laporan : Alberth Yomo

Bangunannya adalah sebuah rumah panggung, tersusun dari balok dan papan yang berasal dari hutan di sekitarnya, pekerjanya bukan orang dari kampung, melainkan orang jawa, ternate, biak, serui dan lain-lain yang berasal dari luar kampung itu.
Bangunan itu adalah Sekolah Dasar Inpres Kampung Bareri yang dibangun dari tahun 1997 semasa Pemerintahan Kabupaten Jayapura di bawa kepemimpinan Bapak Ir Jan Piet Karafir. Hingga saat ini, bangunan itu masih dipakai sebagai tempat belajarnya 110 anak Kampung di Bareri dan Kampung-Kampung sekitarnya.
Meski jarang digunakan untuk proses belajar mengajar, namun pada beberapa bagian dari bangunan 2 kelas itu telah rusak oleh rayap atau cuaca. Namun, apapun bentuk bangunannya, jika tidak ditunjang oleh kualitas dan profesionalisme guru, tentu sia-sia saja.
SD ini sebenarnya memiliki seorang guru sekaligus Kepala Sekolah yang juga seorang PNS asal kampung itu, tetapi sangat disayangkan, perannya dikeluhkan oleh para orang tua murid. Karena, kegiatan belajar mengajar jarang dilakukan. “Nanti kalo mau Ujian, baru kepala sekolah panggil anak-anak masuk sekolah,” jelas salah satu orang tua di Kampung Bareri.
Dijelaskan oleh warga ini, biasanya anak-anak mereka libur berbulan-bulan, nanti 3 bulan jelang ujian , baru kepala sekolah mengumumkan di gereja untuk masuk sekolah.
Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Kepala Sekolah SD Inpres Bareri, Yahya Towoli, dirinya membantah, dan mengatakan, kalau proses belajar tidak berjalan, karena dirinya tidak dihargai sebagai guru, dimana ketika mengajar dalam kelas, tiba-tiba ada orang tua yang datang membawa anaknya untuk pergi kebun, tanpa meminta ijin kepadanya. Karena sering terjadi, dan dilakukan oleh hampir semua orang tua, akhirnya dirinya bertindak seperti itu.
Namun apapun alasannya, ini merupakan suatu kasus dan persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian serius. Apalagi keadaan ini bukan terjadi kemarin, tetapi sudah berlangsung lama, yang selanjutnya mengorbankan anak-anak, banyak yang tidak bisa baca dan tulis, walaupun sudah duduk di kelas 4, 5 atau 6.
Terkait persoalan itu, Sekertaris Desa Kampung Bareri, Roberth Towoli, pernah menghadap Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Raya, meminta tenaga guru lain untuk ditempatkan di kampung Bareri, karena dirinya sendiri ikut prihatin melihat kondisi anak-anak mereka di kampung, yang jauh ketinggalan dari teman-temannya di Ibukota Distrik dan Ibukota Kabupaten. Tetapi permintaannya itu sampai sekarang belum terkabulkan.
Roberth bahkan mengakui, bahwa memang benar, anak-anak di kampung Bareri tidak ada satupun yang bisa baca dan tulis, karena menurutnya, hal itu disebabkan oleh kegiatan belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya. ( Bersambung )

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 2 )


“ Harga se-liter bensin Rp 30.000, dan dibutuhkan lebih dari 200 liter untuk PP Ibukota Kabupaten”
Kondisi ketidaktahuan terhadap Bahasa Indonesia yang dialami kaum perempuan di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya, tak berbeda jauh dengan kaum perempuan yang ada di Kampung tetangga, yakni di Kampung Biri Distrik Mamberamo Tengah Timur. Keadaan ini merupakan gejala buta huruf, dan memang benar bahwa kami temukan ternyata angka buta huruf di daerah ini sangat tinggi. Seperti apa keberadaan kampung-kampung ini….

Laporan : Alberth Yomo

Perjalanan ke Kampung Bareri dapat ditempuh melalui dua jalur transportasi, jalur udara dengan menggunakan pesawat cesna dan jalur sungai menggunakan longboat atau motor temple. Meski memiliki lapangan terbang perintis, namun sudah dua tahun lebih tidak ada pesawat yang mendarat di Lapter ini.
Kami harus melalui lapangan terbang di Kampung Biri, dengan menggunakan jasa penerbangan Tariku Aviation, kurang lebih 1 jam 45 menit dari bandara sentani, kemudian sehari bermalam di Kampung Bareri, selanjutnya menuju Kampung Bareri yang jaraknya 13 kilometer dengan berjalan kaki kurang lebih 6 jam, menyusuri hutan dan sungai-sungai kecil.
Sedangkan melalui jalur sungai, rute perjalanannya dapat ditempuh dari Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya, di Kasonaweja atau dari pelabuhan Trimuris, dengan perjalanan kurang lebih 12 jam menggunakan speedboad atau 24 jam menggunakan longboat, dengan kebutuhan bensin lebih dari 200 liter untuk rute pulang pergi ke Ibukota Kabupaten. Namun, untuk rute ini, masyarakat biasanya menempuh dalam tiga hari perjalanan, dengan memilih bermalam di beberapa kampung sepanjang sungai Rouffaer.
Dengan kondisi demikian, akses masyarakat terhadap keadaan di luar kampungnya juga sangat terbatas, terutama ke pasar atau ke kota, dan hanya orang-orang tertentu, khususnya kaum pria yang dapat menjangkaunya. Karena sebelum ada bantuan motor temple pada tahun 2008 lalu, para kaum pria di Kampung ini biasanya berjalan kaki selama 6 hari untuk sampai di Ibukota Kasonaweja.
Biasanya mereka yang keluar dari kampung itulah, untuk beberapa tahun kemudian dapat berbicara bahasa Indonesia, karena pengaruh pergaulan dan interaksi dengan orang luar. Walaupun tidak sekolah , karena pergaulan dengan orang luar itu, mereka dapat berbahasa Indonesia dan mengenal huruf. Tetapi sayang, hal itu tidak berlaku bagi kaum perempuan, mereka seperti terpenjara dalam terali kayu di belantara hutan sana, sehingga kondisi itulah yang menyebabkan mereka saat ini masih terbelenggu dalam ketidaktahuan terhadap bahasa negaranya sendiri. ( Bersambung )

Tuesday, January 12, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 1 )



“ 100 Persen Kaum Perempuannya Tidak Bisa Berbahasa Indonesia”
Tiga Minggu tim kami berada di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya Provinsi Papua. Ada sejumlah hal aneh yang kami jumpai dan kami rasakan, karena situasi di Kampung ini sangat berbeda dengan apa yang sebelumnya kami pikirkan. Berikut sepenggal catatan yang kami tuangkan, untuk menggambarkan kondisi di kampung ini…

Laporan : Alberth Yomo

Yuli Pice Towoli, demikian nama yang tertera di kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat ( Jamkesmas ) yang disodorkan Demianus Towoli, ketika aku menanyakan nama anak gadisnya, yang lugu dan sangat rajin itu. Aku lupa tanggal dan bulannya, tetapi tahun lahirnya aku ingat, 1996. Artinya, Yuli Pice kini sudah berumur 13 tahun.
Yerbice, demikian gadis ini disapa oleh keluarganya dan orang sekampung, entah pengaruh dialeg atau apa, tapi itulah yang biasa aku dengar, ketika nama itu di sebut. Menurut Ayahnya, Demianus Towoli, Yerbice baru duduk di kelas 1 SD Inpres Kampung Bareri. Awalnya aku kaget dan bertanya pada ayahnya, kenapa anak se-usia itu baru duduk di kelas 1 SD, tetapi ayahnya hanya tersenyum tanpa mengatakan sesuatu.
Ya, walau dengan ucapan bahasa Indonesia yang agak kaku dan membingungkan, tapi aku dapat menangkap maksud kata demi kata yang diucapkan Demianus ketika kami melanjutkan perbincangan itu.
Selanjutnya aku ingin mencoba berbincang-bincang dengan Yerbice dan Ibunya, tetapi keinginan itu tidak dapat terwujud, karena baik Yerbice maupun Ibunya tidak dapat berbahasa Indonesia. Beberapa hari kemudian, kami coba menyapa Istri kepala kampung,ternyata hanya dibalas dengan senyuman, tidak ada sepatah kata, demikian juga dengan Ibu-Ibu lainnya di Kampung itu, semua membalas dengan senyuman, ketika kami menegur mereka.
“ Ibu-Ibu dong tidak bisa bahasa Indonesia, kalo laki-laki boleh,” terang Naftali Towoli, salah satu warga di kampung itu. “ Semua tidak bisa bahasa Indonesia,” tanyaku. Naftali mengangguk, tanda mengiyahkan. Naftali mungkin merupakan satu dari beberapa pria di Kampung itu yang bisa berbicara bahasa Indonesia dengan baik. Selain Naftali, ada juga Anton, Zadrak, Yulius, Bapak Gembala dan Bapak Sekertaris Kampung yang sudah lancar berbahasa Indonesia, sehingga atas bantuan mereka, kami bisa bercerita dan mengetahui banyak hal tentang kehidupan masyarakat di kampung itu.
Selama beberapa hari berada di kampung itu, kami merasa seperti orang yang benar-benar asing, apalagi ketika para juru bahasa kami sedang pergi mencari di dusunnya masing-masing. Karena itu, selang beberapa hari kemudian, kami memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan para juru bahasa kami di dusunnya masing-masing, baik itu saat berburu, ke kebun atau saat melakukan kegiatan lainnya di hutan. ( Bersambung )