Sunday, October 25, 2009

Parable Of The Boiled Frog


Suatu gambaran tentang seekor kodok yang dimasukkan ke dalam sebuah belanga yang airnya sudah panas, kodok itu akan segera melompat keluar karena menyadari bahaya air panas tersebut. Sebaliknya, apabila kita memasukkan kodok itu ke dalam sebuah belanga dengan air yang masih dingin dan tidak mengganggunya, kodok itu akan tinggal dengan tenang dalam belanga itu. Kemudian air dalam belanga itu di panaskan secara bertahap, walaupun suhu air itu mulai panas, kodok itu tetap akan tenang dan tidak menganggapnya sebagai suatu ancaman.
Ketika panasnya meningkat menuju titik didih, kodok itu masih tetap bertahan dan tidak berusaha untuk melompat keluar, karena indranya belum terlatih untuk menangkap proses yang berlangsung secara gradual itu sebagai suatu ancaman. Ketika airnya sudah mencapai titik didih, kodok itu tidak memiliki kesanggupan lagi untuk menyelamatkan dirinya dan terebus matang.
Kita orang Papua di kwatirkan berprilaku seperti kodok tadi, tidak belajar untuk segera menyadari gejala dari berbagai bahaya yang sedang mengancam masa depan kita dan masa depan anak cucu kita. Kita dianggap terlalu naïf, menggampangkan persoalan, mudah tergoda dengan kenikmatan sesaat ( seperti uang yang jumlahnya tidak seberapa, minuman keras dan perempuan, sehingga tidak menghiraukan bahaya yang sedang mengancam diri kita dan diri generasi mendatang yang terus berproses secara bertahap.
Contoh, kasus Freeport. Ketika pihak perusahaan masuk dengan penelitian dan mendatangkan alat berat, dan memberikan sejumlah uang, masyarakat Amugme dan Komoro langsung memberikan perusahaan itu mengeksploitasi kekayaan emas dan tambang. Sekarang mereka menyesal, hutan mereka rusak, mata pentaharian mereka hilang.
Contoh kasus lainnya, seperti yang terjadi di Burmeso, mereka menerima uang dari perusahaan, dan membiarkan perusahaan kayu itu masuk dan mengambil hasil hutan, pihak LSM yang masuk ke sana di larang dan diusir. Sekarang, hutan mereka rusak, mata pencaharian mereka hilang, mereka mengeluh kepada LSM, namun sudah terlambat, semua sudah terjadi.
Karena itu, mari kita jaga hutan kita, tanah kita dan pikirkan baik-baik bila hendak di jual kepada pihak lain. Ingat, bahwa orang Papua tanpa tanah dan hutan serta lingkungan alam yang lestari akan menjadi orang-orang yang paling malang di tanah kelahirannya sendiri.( yomo )

Sunday, October 18, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 4 )

Kabupaten Mamberamo Raya merupakan suatu daerah yang memiliki topografi yang hampir 100 persen wilayahnya dikelilingi oleh beberapa sungai besar dan ratusan hingga ribuan sungai –sungai kecil, sehingga kehidupan masyarakatnya sepenuhnya bergantung pada kondisi sungai, terutama menyangkut transportasi hingga pada upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagaimana mereka menjalani dan mempertahankan keberlanjutan hidupnya pada kondisi itu?

Laporan : Alberth Yomo

“Kami punya pisang banyak, kacang tanah banyak, buah merah banyak, dan lain-lain, tapi kami kesulitan untuk menjualnya. Jadi kami hanya ambil itu untuk makan saja, dan yang lainnya tinggal sampai busuk,” ungkap Herman Kusra salah satu tokoh pemuda di Kampung Haya Distrik Roufaer.
Apa yang diungkapkan Herman, merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat yang bermukim di sepanjang sungai Mamberamo dan sekitarnya. Untuk urusan perut, jangan di tanya lagi, mereka punya semuanya. Di darat ada sagu, pisang, buah merah, daging babi, kuskus, tikus tanah dan lain-lain yang melimpah, demikian pula di air, ada ikan Sembilan, mujair, lele jumbo yang ukurannya sempat membuat saya tercengang, luar biasa.
Namun, yang mereka gumuli saat ini, adalah bagaimana hasil-hasil alam itu bisa mereka manfaatkan untuk mendapatkan uang. Bukan tanpa alas an, karena mereka ingin menyekolahkan anaknya melalui pendidikan yang berjenjang dari kampung hingga ke kota, yang tentunya membutuhkan biaya hidup. Selain itu, mereka juga membutuhkan beras, garam, minyak goreng, gula, kopi, sabun, baterei dan kebutuhan lainnya yang harus dibeli dengan menggunakan uang.
Masalah yang menghadang masyarakat Mamberamo, khususnya di jalur sungai Roufaer,adalah mahalnya ongkos transportasi. Satu liter bensin harganya berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 35.000. Dan untuk sampai ke pasar Distrik mereka membutuhkan 100 hingga 200 liter bensin( PP ). Beruntung kalo jual barang laku, supaya bisa bayar ongkos bensin, tapi kalo tdk laku, motoris bisa ngambek. Tapi kadang hasil jualan tidak seimbang dengan ongkos yang dikeluarkan untuk biaya transportasi. Pulang ke kampong, kadang dalam keadaan “kosong”.
“ Pernah kami bawa kacang tanah 3 ton ke Kaso, jual ke Dinas Perekonomian Mamberamo Raya, kami sewa longboat Rp 5 Juta ( PP ), tetapi sampai di Kaso, 3 ton kacang tanah yang kami bawa itu di beli dengan harga Rp 4 Juta, jadi kami pulang “kosong”,” jelas Herman.
Karena itu, Herman minta Pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memecahkan masalah kemahalan BBM , karena kondisi itulah yang membuat ekonomi masyarakat Mamberamo tidak bisa maju. Selain itu, Herman juga minta agar akses transportasi sungai dan darat segera di bangun, agar masyarakat bisa sedikit terbantukan. ( Bersambung )

Friday, October 16, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 3 )


Perubahan perilaku masyarakat yang bermukim di kampung-kampung sekitar Sungai Oi, Sungai Roufaer hingga Sungai Mamberamo tidak saja ditemukan pada anak-anak, tetapi juga pada kehidupan masyarakat pada umumnya, baik perubahan perilaku kearah yang membangun, tetapi tidak sedikit yang menyimpang.

Laporan : Alberth Yomo

“ Aduh….pace sekarang sudah tidak tinggal di kampung lagi, dia punya tempat tinggal di Jayapura. Nanti kalau dia dengar ada mau terima dana pemberdayaan atau dana Respek, baru pace muncul di Kaso ( Ibukota Mamberamo Raya ),” ungkap salah satu tokoh masyarakat, menanggapi keberadaan kepala kampungnya.

Dijelaskan, bahwa setelah memperoleh dana pemberdayaan kampung maupun dana Respek yang dikucurkan Pemerintah Daerah, kepala kampung tersebut akan menghilang kembali ke Jayapura.

“ Kita tidak tahu dengan dana itu, kita dengar saja, tetapi uangnya kita tidak pernah lihat. Masyarakat ribut-ribut, tetapi tidak bisa tegur kepala kampung, karena takut nanti dapat usir dari kampung ini, karena tanah yang kita tinggal ini dia punya tanah jadi,” jelasnya.

Pernyataan tokoh masyarakat ini mungkin ada benarnya juga, karena keadaan kampung di mana mereka tinggal tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Padahal dana Respek yang tiap tahun digulirkan besarnya Rp 100 Juta, kemudian di tambah dana pemberdayaan kampung Rp 200 Juta. Jadi sangat mengherankan, jika dana sebesar Rp 300 Juta per tahunnya yang digulirkan selama ini tidak memberikan dampak yang nyata pada kehidupan masyarakat di kampung itu.

Mungkin karena kelakuan kepala kampung seperti itu atau mungkin ada masyarakat yang ingin seperti kepala kampung tersebut, maka saat ini beberapa tokoh-tokoh masyarakat mengajukan permohonan untuk membentuk pemerintahan kampung sendiri, dengan lokasi di dusunnya masing-masing.” Supaya kita juga bisa urus kita punya diri sendiri,” tandas salah satu tokoh masyarakat.

Meski dapat pahami, keadaaa semirip dan serupa itu terjadi hampir di semua kampung di Papua, tapi apakah memang model orang papua seperti itu ? Ketika tidak diberi uang, mengeluh atas nama masyarakat dan kampung, tetapi setelah uang di tangan, menghilang tinggalkan masyarakat dan kampung.

Sering kali kondisi alam menjadi kambing hitam, padahal mereka lahir dan besar pada kondisi alam tersebut. Lain halnya jika orang dari luar Papua, keluhan seperti itu bisa dimaklumi. Alasan klasik tetap saja menjadi alasan mereka, apakah itu aparat desa, tokoh masyarakat maupun aparat Pemerintah Kabupaten. ( Bersambung )

Thursday, October 15, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 2 )



Masih soal pendidikan, selain masalah akta kelahiran, mutu pendidikan dan tenaga pengajar yang tidak beres, hal lainnya yang sekiranya perlu mendapat perhatian serius dari orang-orang Mamberamo dan pihak Pemerintah, yakni soal perubahan perilaku dari anak-anak sekolah yang ada di kampung-kampung.

Laporan : Alberth Yomo

“Gila…, anak-anak ini punya cara isap rokok juga jahat sekali,” keluh salah satu anggota tim. “ Kamu ini masih kecil, jantung belum kuat, kamu punya otak bisa mati kalau kecil-kecil begini kamu sudah isap rokok, “ tegas anggota tim lainnya kepada sejumlah anak-anak di kampung Haya yang sedang menggulung rokok AK ( Anggur Kupu ) dan dengan santai menghisapnya.

Awalnya rokok yang kami bawa adalah sebagai bahan kontak dengan sejumlah masyarakat di kampung, namun tak disangka, sumber-sumber informasi belum ditemui, dalam beberapa hari stok rokok menipis, karena anak-anak kecil menjadi bagian dari pecandu berat yang siang malam nongkrong di Posko tim.

Meski tim kami telah berupaya untuk memberi pengertian, tapi entahlah mereka mengerti bahasa yang disampaikan teman-teman kami atau tidak mau menggubrisnya, namun kegiatan itu terjadi hampir tiap hari. Bahkan pemandangan itu menjadi hal yang biasa di tempat terbuka, baik itu orang dewasa, anak-anak kecil, laki-laki maupun perempuan, termasuk anak-anak usia taman kanak-kanak.

“ Begini ade, saya sudah berupaya memberi nasehat bahkan memberi hukuman berat kepada anak-anak yang tertangkap basa menghisap rokok, tapi saya menjadi sasaran kemarahan orang tua mereka, bahkan saya sering dikejar dengan panah dan parang,” jelas Laurens, anak kampung Haya yang menjadi guru bantu di SD tersebut, menanggapi soal perilaku itu. Laurens kemudian putus asa untuk mengatasi persoalan itu.

Meski demikian, bagi Laurens hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk tetap semangat mengajar dan membimbing anak-anak yang ada di kampungnya. Karena baginya, untuk mengubah perilaku masyarakat di kampungnya bukanlah hal yang mudah, tetapi membutuhkan waktu, baginya, cepat atau lambat masyarakat di kampungnya akan memahami, yang terpentingnya baginya, bagaimana membimbing anak-anak untuk bisa membaca ,menulis serta bisa menempuh pendidikan berjenjang dengan baik hingga ke sekolah yang lebih tinggi.

Sebenarnya bukan hanya masalah rokok, tapi banyak persoalan yang selalu dihadapi Laurens, baik itu berupa persoalan pemahaman orangtua tentang pentingnya pendidikan, persoalan kesejahteraan dirinya dan keluarga hingga pada persoalan anak muridnya yang membutuhkan pendampingan ekstra agar bisa membaca dan menulis dengan baik.

“ Anak-anak harus bisa tulis dan baca sebelum mereka pergi sekolah ke tempat lain, sehingga saya tidak akan menjadi malu, ketika suatu saat anak-anak akan ditanya siapa guru yang mengajar. Karena itu, saya berusaha sekuat tenaga saya, agar anak-anak bisa baca dan tulis dengan baik,” tandasnya. ( Bersambung )

Wednesday, October 14, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 1 )



Sebulan lebih kami tinggal di kampung Haya Distrik Roufaer Kabupaten Mamberamo Raya. Ada sejumlah hal yang kami lihat, tetapi juga tidak sedikit cerita yang kami dengar dari masyarakat di sana, untuk itu kami coba lukiskan, dan biarlah kalian menilainya….

Laporan : Alberth Yomo

“Pak Guru ada pergi ke Dabra, jadi kita tidak sekolah. Nanti kalo Pak guru ada, baru kami sekolah,” ungkap Matias Kuasra, salah satu murid sekolah dasar Inpres Kampung Haya. Usia Matias diperkirakan sekitar 14 atau 15 tahun, namun pada usia tersebut, Matias baru tercatat sebagai murid kelas 3 SD. Matias sendiri juga tidak mengetahui, kapan ia di lahirkan oleh Ibunya, sehingga kami hanya bisa menduga usianya.

Ternyata bukan hanya Matias yang tidak mengetahui tahun kelahirannya, Ayah Matias sendiripun tidak mengingatnya, bahkan tahun kelahirannya sendiri tidak diketahuinya. Kondisi ini tidak hanya dijumpai pada keluarga Matias, tetapi hampir 80 persen masyarakat di kampung itu tidak mengingat kapan ia hadir ke bumi.

Kondisi tersebut mengingatkan saya pada data pemilih yang dikeluarkan KPUD Kabupaten Mamberamo Raya tahun 2009, yang mana hampir 80 persen pemilih di Kabupaten Mamberamo Raya yang terdaftar pada pemilu 2009 lalu, memiliki waktu kelahiran yang sama, baik tanggalnya, bulannya maupun tahunnya. Anehnya lagi, meski para pemilih itu mempunyai tanggal, bulan dan tahun lahir yang sama, namun usianya beda-beda, hahahaha. ….?

Terlepas dari persoalan akte kelahiran yang mungkin akan menjadi PR Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, kami kembali dulu ke sekolahnya Matias. Terdapat 4 kelas di sekolahnya Matias ( Kelas 1 sampai kelas 4 ). Ada 31 murid kelas 1, 12 murid kelas 2, 10 murid kelas 3 dan 1 murid kelas 4. Hanya 4 kelas, jadi kalau ada yang lulus kelas 4 dan ingin melanjutkan sekolahnya, maka siap-siap meninggalkan kampung ke Ibukota Distrik atau Ibukota Kabupaten.

Soal mutu sumber daya manusianya jangan di tanya…berbalik 179 derajat dari anak-anak SD di kota. Lihat saja Matias, untuk membaca tulisan “ Saya Anak Mamberamo”, butuh waktu lebih dari 10 detik, karena Matias masih belajar mengeja huruf. “ Bagaimana anak-anak mau maju, guru saja tinggal di Dabra. Sedangkan guru relawan dari kampung sini, akan bantu mengajar kalau guru dari Dabra itu datang. Jadi anak-anak selalu terlantar berbulan-bulan tidak sekolah,” ujar ayah Matius. Apakah sedih…?

Kondisi ini tidak jauh beda dengan kampung Kustra, Ibukota Distrik Mamberamo Tengah Timur yang dua bulan lalu kami datangi. Meski lebih maju dari sisi infrastruktur pendidikannya, bangunan SD memiliki 8 ruangan, SMP 3 ruangan, namun tenaga pendidiknya tidak ada. Ketika ditempat lain anak-anak pada sekolah, namun anak-anak di kampung Kustra itu kegiatannya tiap hari hanya memegang anak panah dan masuk mencari burung di hutan hingga pulang menjelang malam. ( Bersambung )