Friday, October 16, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 3 )


Perubahan perilaku masyarakat yang bermukim di kampung-kampung sekitar Sungai Oi, Sungai Roufaer hingga Sungai Mamberamo tidak saja ditemukan pada anak-anak, tetapi juga pada kehidupan masyarakat pada umumnya, baik perubahan perilaku kearah yang membangun, tetapi tidak sedikit yang menyimpang.

Laporan : Alberth Yomo

“ Aduh….pace sekarang sudah tidak tinggal di kampung lagi, dia punya tempat tinggal di Jayapura. Nanti kalau dia dengar ada mau terima dana pemberdayaan atau dana Respek, baru pace muncul di Kaso ( Ibukota Mamberamo Raya ),” ungkap salah satu tokoh masyarakat, menanggapi keberadaan kepala kampungnya.

Dijelaskan, bahwa setelah memperoleh dana pemberdayaan kampung maupun dana Respek yang dikucurkan Pemerintah Daerah, kepala kampung tersebut akan menghilang kembali ke Jayapura.

“ Kita tidak tahu dengan dana itu, kita dengar saja, tetapi uangnya kita tidak pernah lihat. Masyarakat ribut-ribut, tetapi tidak bisa tegur kepala kampung, karena takut nanti dapat usir dari kampung ini, karena tanah yang kita tinggal ini dia punya tanah jadi,” jelasnya.

Pernyataan tokoh masyarakat ini mungkin ada benarnya juga, karena keadaan kampung di mana mereka tinggal tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Padahal dana Respek yang tiap tahun digulirkan besarnya Rp 100 Juta, kemudian di tambah dana pemberdayaan kampung Rp 200 Juta. Jadi sangat mengherankan, jika dana sebesar Rp 300 Juta per tahunnya yang digulirkan selama ini tidak memberikan dampak yang nyata pada kehidupan masyarakat di kampung itu.

Mungkin karena kelakuan kepala kampung seperti itu atau mungkin ada masyarakat yang ingin seperti kepala kampung tersebut, maka saat ini beberapa tokoh-tokoh masyarakat mengajukan permohonan untuk membentuk pemerintahan kampung sendiri, dengan lokasi di dusunnya masing-masing.” Supaya kita juga bisa urus kita punya diri sendiri,” tandas salah satu tokoh masyarakat.

Meski dapat pahami, keadaaa semirip dan serupa itu terjadi hampir di semua kampung di Papua, tapi apakah memang model orang papua seperti itu ? Ketika tidak diberi uang, mengeluh atas nama masyarakat dan kampung, tetapi setelah uang di tangan, menghilang tinggalkan masyarakat dan kampung.

Sering kali kondisi alam menjadi kambing hitam, padahal mereka lahir dan besar pada kondisi alam tersebut. Lain halnya jika orang dari luar Papua, keluhan seperti itu bisa dimaklumi. Alasan klasik tetap saja menjadi alasan mereka, apakah itu aparat desa, tokoh masyarakat maupun aparat Pemerintah Kabupaten. ( Bersambung )

No comments:

Post a Comment