Wednesday, October 14, 2009

Sepenggal Catatan Dari Pinggir Sungai Mamberamo ( Bagian 1 )



Sebulan lebih kami tinggal di kampung Haya Distrik Roufaer Kabupaten Mamberamo Raya. Ada sejumlah hal yang kami lihat, tetapi juga tidak sedikit cerita yang kami dengar dari masyarakat di sana, untuk itu kami coba lukiskan, dan biarlah kalian menilainya….

Laporan : Alberth Yomo

“Pak Guru ada pergi ke Dabra, jadi kita tidak sekolah. Nanti kalo Pak guru ada, baru kami sekolah,” ungkap Matias Kuasra, salah satu murid sekolah dasar Inpres Kampung Haya. Usia Matias diperkirakan sekitar 14 atau 15 tahun, namun pada usia tersebut, Matias baru tercatat sebagai murid kelas 3 SD. Matias sendiri juga tidak mengetahui, kapan ia di lahirkan oleh Ibunya, sehingga kami hanya bisa menduga usianya.

Ternyata bukan hanya Matias yang tidak mengetahui tahun kelahirannya, Ayah Matias sendiripun tidak mengingatnya, bahkan tahun kelahirannya sendiri tidak diketahuinya. Kondisi ini tidak hanya dijumpai pada keluarga Matias, tetapi hampir 80 persen masyarakat di kampung itu tidak mengingat kapan ia hadir ke bumi.

Kondisi tersebut mengingatkan saya pada data pemilih yang dikeluarkan KPUD Kabupaten Mamberamo Raya tahun 2009, yang mana hampir 80 persen pemilih di Kabupaten Mamberamo Raya yang terdaftar pada pemilu 2009 lalu, memiliki waktu kelahiran yang sama, baik tanggalnya, bulannya maupun tahunnya. Anehnya lagi, meski para pemilih itu mempunyai tanggal, bulan dan tahun lahir yang sama, namun usianya beda-beda, hahahaha. ….?

Terlepas dari persoalan akte kelahiran yang mungkin akan menjadi PR Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, kami kembali dulu ke sekolahnya Matias. Terdapat 4 kelas di sekolahnya Matias ( Kelas 1 sampai kelas 4 ). Ada 31 murid kelas 1, 12 murid kelas 2, 10 murid kelas 3 dan 1 murid kelas 4. Hanya 4 kelas, jadi kalau ada yang lulus kelas 4 dan ingin melanjutkan sekolahnya, maka siap-siap meninggalkan kampung ke Ibukota Distrik atau Ibukota Kabupaten.

Soal mutu sumber daya manusianya jangan di tanya…berbalik 179 derajat dari anak-anak SD di kota. Lihat saja Matias, untuk membaca tulisan “ Saya Anak Mamberamo”, butuh waktu lebih dari 10 detik, karena Matias masih belajar mengeja huruf. “ Bagaimana anak-anak mau maju, guru saja tinggal di Dabra. Sedangkan guru relawan dari kampung sini, akan bantu mengajar kalau guru dari Dabra itu datang. Jadi anak-anak selalu terlantar berbulan-bulan tidak sekolah,” ujar ayah Matius. Apakah sedih…?

Kondisi ini tidak jauh beda dengan kampung Kustra, Ibukota Distrik Mamberamo Tengah Timur yang dua bulan lalu kami datangi. Meski lebih maju dari sisi infrastruktur pendidikannya, bangunan SD memiliki 8 ruangan, SMP 3 ruangan, namun tenaga pendidiknya tidak ada. Ketika ditempat lain anak-anak pada sekolah, namun anak-anak di kampung Kustra itu kegiatannya tiap hari hanya memegang anak panah dan masuk mencari burung di hutan hingga pulang menjelang malam. ( Bersambung )








No comments:

Post a Comment