Tuesday, January 12, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 1 )



“ 100 Persen Kaum Perempuannya Tidak Bisa Berbahasa Indonesia”
Tiga Minggu tim kami berada di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya Provinsi Papua. Ada sejumlah hal aneh yang kami jumpai dan kami rasakan, karena situasi di Kampung ini sangat berbeda dengan apa yang sebelumnya kami pikirkan. Berikut sepenggal catatan yang kami tuangkan, untuk menggambarkan kondisi di kampung ini…

Laporan : Alberth Yomo

Yuli Pice Towoli, demikian nama yang tertera di kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat ( Jamkesmas ) yang disodorkan Demianus Towoli, ketika aku menanyakan nama anak gadisnya, yang lugu dan sangat rajin itu. Aku lupa tanggal dan bulannya, tetapi tahun lahirnya aku ingat, 1996. Artinya, Yuli Pice kini sudah berumur 13 tahun.
Yerbice, demikian gadis ini disapa oleh keluarganya dan orang sekampung, entah pengaruh dialeg atau apa, tapi itulah yang biasa aku dengar, ketika nama itu di sebut. Menurut Ayahnya, Demianus Towoli, Yerbice baru duduk di kelas 1 SD Inpres Kampung Bareri. Awalnya aku kaget dan bertanya pada ayahnya, kenapa anak se-usia itu baru duduk di kelas 1 SD, tetapi ayahnya hanya tersenyum tanpa mengatakan sesuatu.
Ya, walau dengan ucapan bahasa Indonesia yang agak kaku dan membingungkan, tapi aku dapat menangkap maksud kata demi kata yang diucapkan Demianus ketika kami melanjutkan perbincangan itu.
Selanjutnya aku ingin mencoba berbincang-bincang dengan Yerbice dan Ibunya, tetapi keinginan itu tidak dapat terwujud, karena baik Yerbice maupun Ibunya tidak dapat berbahasa Indonesia. Beberapa hari kemudian, kami coba menyapa Istri kepala kampung,ternyata hanya dibalas dengan senyuman, tidak ada sepatah kata, demikian juga dengan Ibu-Ibu lainnya di Kampung itu, semua membalas dengan senyuman, ketika kami menegur mereka.
“ Ibu-Ibu dong tidak bisa bahasa Indonesia, kalo laki-laki boleh,” terang Naftali Towoli, salah satu warga di kampung itu. “ Semua tidak bisa bahasa Indonesia,” tanyaku. Naftali mengangguk, tanda mengiyahkan. Naftali mungkin merupakan satu dari beberapa pria di Kampung itu yang bisa berbicara bahasa Indonesia dengan baik. Selain Naftali, ada juga Anton, Zadrak, Yulius, Bapak Gembala dan Bapak Sekertaris Kampung yang sudah lancar berbahasa Indonesia, sehingga atas bantuan mereka, kami bisa bercerita dan mengetahui banyak hal tentang kehidupan masyarakat di kampung itu.
Selama beberapa hari berada di kampung itu, kami merasa seperti orang yang benar-benar asing, apalagi ketika para juru bahasa kami sedang pergi mencari di dusunnya masing-masing. Karena itu, selang beberapa hari kemudian, kami memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan para juru bahasa kami di dusunnya masing-masing, baik itu saat berburu, ke kebun atau saat melakukan kegiatan lainnya di hutan. ( Bersambung )

No comments:

Post a Comment