Thursday, January 14, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 2 )


“ Harga se-liter bensin Rp 30.000, dan dibutuhkan lebih dari 200 liter untuk PP Ibukota Kabupaten”
Kondisi ketidaktahuan terhadap Bahasa Indonesia yang dialami kaum perempuan di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya, tak berbeda jauh dengan kaum perempuan yang ada di Kampung tetangga, yakni di Kampung Biri Distrik Mamberamo Tengah Timur. Keadaan ini merupakan gejala buta huruf, dan memang benar bahwa kami temukan ternyata angka buta huruf di daerah ini sangat tinggi. Seperti apa keberadaan kampung-kampung ini….

Laporan : Alberth Yomo

Perjalanan ke Kampung Bareri dapat ditempuh melalui dua jalur transportasi, jalur udara dengan menggunakan pesawat cesna dan jalur sungai menggunakan longboat atau motor temple. Meski memiliki lapangan terbang perintis, namun sudah dua tahun lebih tidak ada pesawat yang mendarat di Lapter ini.
Kami harus melalui lapangan terbang di Kampung Biri, dengan menggunakan jasa penerbangan Tariku Aviation, kurang lebih 1 jam 45 menit dari bandara sentani, kemudian sehari bermalam di Kampung Bareri, selanjutnya menuju Kampung Bareri yang jaraknya 13 kilometer dengan berjalan kaki kurang lebih 6 jam, menyusuri hutan dan sungai-sungai kecil.
Sedangkan melalui jalur sungai, rute perjalanannya dapat ditempuh dari Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya, di Kasonaweja atau dari pelabuhan Trimuris, dengan perjalanan kurang lebih 12 jam menggunakan speedboad atau 24 jam menggunakan longboat, dengan kebutuhan bensin lebih dari 200 liter untuk rute pulang pergi ke Ibukota Kabupaten. Namun, untuk rute ini, masyarakat biasanya menempuh dalam tiga hari perjalanan, dengan memilih bermalam di beberapa kampung sepanjang sungai Rouffaer.
Dengan kondisi demikian, akses masyarakat terhadap keadaan di luar kampungnya juga sangat terbatas, terutama ke pasar atau ke kota, dan hanya orang-orang tertentu, khususnya kaum pria yang dapat menjangkaunya. Karena sebelum ada bantuan motor temple pada tahun 2008 lalu, para kaum pria di Kampung ini biasanya berjalan kaki selama 6 hari untuk sampai di Ibukota Kasonaweja.
Biasanya mereka yang keluar dari kampung itulah, untuk beberapa tahun kemudian dapat berbicara bahasa Indonesia, karena pengaruh pergaulan dan interaksi dengan orang luar. Walaupun tidak sekolah , karena pergaulan dengan orang luar itu, mereka dapat berbahasa Indonesia dan mengenal huruf. Tetapi sayang, hal itu tidak berlaku bagi kaum perempuan, mereka seperti terpenjara dalam terali kayu di belantara hutan sana, sehingga kondisi itulah yang menyebabkan mereka saat ini masih terbelenggu dalam ketidaktahuan terhadap bahasa negaranya sendiri. ( Bersambung )

No comments:

Post a Comment