Thursday, August 20, 2009

Pengalaman Pertama Bersama Yali Papua ( Bagian- 3/ Habis )


Pagi harinya, Selasa ( 7/7 ), diiringi kicauan burung yang saling berbalas-balasan, saya bangun lebih dulu dari 3 teman lainnya, jam ditangan menunjukkan pukul 05.45 Wit, kemudian perlahan membuka pintu dan keluar menghirup udara pagi yang terasa begitu sejuk. Ternyata di luar sana, tepatnya di tempat perapian, Ibu desa dan tiga orang anaknya sedang duduk, dan nampaknya mereka tengah menghangatkan tubuh mereka di dekat perapian kecil yang menyalah.
Oleh : Alberth Yomo

Selamat pagi mama, sahutku, kemudian mendekati mereka dan ikut menghangatkan badan di perapian itu. Suhu pagi itu, sebenarnya tidak terlalu dingin.” Mama dingin kah? Tanya saya.” Iyo mama sakit ni, jawabnya. Terlihat jelas, raut muka mama desa nampak pucat. “Kaki ini yang bikin sakit, jawan mama desa, sambil menunjuk pada kakinya yang bengkak. Nampaknya bukan bengkak biasa, saya menduga itu penyakit kaki gajah, hal serupa yang saya lihat kemarin, sore pada beberapa penduduk dewasa lainnya di kampung tersebut.
“ Mama ini mungkin penyakit kaki gajah ini, “ kataku. Tapi mama desa mengelak,”bukan, ini hanya bengkak biasa,” jawabnya. Tidak ingin berdebat, saya terdiam sejenak sambil melihat mama desa mengelus-elus kakinya yang bengkak itu. Meski kedua kakinya terlihat sama bengkaknya, namun, yang dielus hanya kaki kanannya.
Beberapa detik kami terdiam, namun tiba-tiba mama desa berbicara, katanya, kalau setiap tamu yang nginap di rumahnya, biasanya membayar Rp 500.000,-, bermaksud menyinggung keberadaan kami, dan berharap kami juga seperti tamu-tamu mereka sebelumnya yang harus membayar sejumlah uang tersebut sebelum meninggalkan rumahnya.
“ Oh begitu kah? Siapa saja yang pernah datang tidur ( nginap ) di mama dong p rumah,” Tanyaku. Mama desa hanya diam. Dalam hati saya berkata, ternyata kamar hotel masih kalah. Kita harus siap-siap mengumpulkan uang untuk membayar penginapan pada rumah yang tampak tidak terurus ini. Ah anggap saja ini sebagai sumbangan, pikirku lagi.
Beberapa saat kemudian, teman-teman lain pada bangun, kemudian saya menyampaikan hal ini pada mereka. Semua pada kaget. “Ah kita bayar saja sesuai dengan apa yang ada di tangan kita, bisa kacau ni biaya perjalanan, belum sampai di tempat tujuan, sudah begini,” ujar Karji, pimpinan tim.
Tidak hanya itu, beberapa saat kemudian, dating beberapa warga meminta rokok, gula dan daun the, kami berikan. Kami kemudian sepakat, untuk secepatnya mengurus longboat. Setelah bernegosiasi dengan pemilik longboat di kampung itu, kami akhirnya sepakat membeli 10 liter bensin, yang harga per liternya Rp 28.000,- membayar sewa longboat dan tenaga motoris yang biaya lebih dari sejuta.
Singkat cerita, tidak mau berlama-lama di kampung tersebut, kami langsung angkut barang menuju dermaga sungai, sambil menungguh persiapan motoris dan longboat. Setelah semuanya siap, kami langsung berangkat menuju desa tujuan, yakni Kampung Kustra. Meski sebenarnya kami masih harus menungguh penjemputan dari kampung Kustra, tapi karena keadaannya seperti itu, kami merasa tidak nyaman, apalagi ada permintaan dari beberapa warga untuk membayar pisang mereka yang kemarin kami nikmati, akhirnya kami percepat, setelah semua permintaan mereka kami lunasi. Kami kemudian menempuh perjalanan menyusuri sungai Oi menuju Kampung Kustra. Sayonara Noyadi………

1 comment: