Monday, January 18, 2010

Sepenggal Catatan Dari Kampung Bareri Distrik Rouffaer Mamberamo Raya ( Bagian 5/ Habis )


“ Setelah Dapat Dana Pemberdayaan dan Dana Respek, Kepala Kampung Lupa Kampung”

Masalah ekonomi, pendidikan, hingga masalah kesehatan yang kami temukan di Kampung Bareri Distrik Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya, sebenarnya merupakan suatu persoalan klasik yang terjadi di hampir seluruh kampung yang tersebar di Tanah Papua, bahkan di seluruh wilayah Indonesia. Namun yang mengherankan bagiku adalah, Undang-Undang Otsus sudah berjalan lebih dari 8 tahun, dan selama itu pula dana triliunan rupiah terus menerus mengalir ke Pulau paling timur di Negeri Nusantara ini, tapi kenapa “kondisi itu” tidak secepatnya di atasi?

Laporan : Alberth Yomo

Sudah 5 kampung di daerah Rouffaer Kabupaten Mamberamo Raya aku kunjungi, yakni Noyadi, Kustra, Haya, Biri dan Bareri. Dari kunjungan itu, hanya 1 kepala Pemerintahan kampung yang berhasil aku jumpai, 4 lainnya tidak pernah aku lihat batang hidungnya, dengan alasan beragam, ada yang mengatakan sedang mengurus dana pemberdayaan kampung di Ibukota Kabupaten, adapula yang mengatakan sedang mengurus dana Respek di kantor Gubernur, bahkan yang lebih parah dikatakan bahwa Kepala Kampungnya sudah kawin dengan istri baru, jadi sudah lebih dari setahun tidak berada di Kampung.“ Mungkin Bapak Desa hanya sampai di Kasonaweja, setelah itu, dia balik lagi ke Jayapura,” tandas salah seorang warga di Kampung itu.
Dari berbagai sumber yang kami wawancarai di beberapa Kampung itu, terungkap jelas, bahwa sejak adanya dana pemberdayaan kampung yang diberikan Pemerintah ( Rp 200 Juta/kampung/ tahun ), dana tersebut diduga disalahgunakan oleh para kepala Kampung untuk kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan kampungnya sendiri.
Belum lagi ditambah dengan dana Respek program Gubernur Provinsi Papua ( Rp 100 Juta/ kampung/tahun ) yang baru terealisasi tahun 2009 di Kabupaten Mamberamo Raya, telah memberikan ruang yang sebesar-besarnya bagi para kepala kampung untuk “ semakin melupakan kampungnya”.
Model pembagian yang kami temui, salah satu misalnya ketika dana pemberdayaan kampung 2009 sebesar Rp 200 juta, di kampung Bareri, dibagi Rp 20 Juta kepada 6 kelompok tani, totalnya Rp 120 Juta, sisanya Rp 80 Juta, dana itu menurut Sekertaris Kampung, diperuntukan bagi operasional aparat. Sementara dana Respek Rp 100 Juta, dipakai beli mesin disel solar yang harganya Rp 26 Juta, dan sisa Rp 74 Juta dinyatakan habis untuk membeli perangkat listrik rumah, seperti kabel dan lampu. “ Rp 74 Juta habis untuk kabel dan lampu?,” tanyaku dengan nada heran.
Sementara di Kampung lainnya, ada yang mengatakan tidak tahu dengan dana pemberdayaan Kampung dan Dana Respek, karena kepala kampungnya tidak pernah di kampung, selalu titip sama orang dari Kasonaweja, lalu balik ke Jayapura.” Jadi Bapak Desa punya Kampung sekarang di Jayapura,” ujar salah satu warga.
Hal lainnya, bahwa setelah adanya program dana pemberdayaan kampung dan dana respek, telah merubah perilaku masyarakat di kampung. Mereka sudah tidak berpikir untuk bagaimana berusaha mendatangkan uang dari suatu kerja keras, tetapi cenderung menjadi pemalas yang menunggu kapan dana pemberdayaan cair dan kapan dana respek cair. Karena dari dana itulah, mereka bisa ke kota dan belanja sesuatu kebutuhan di kota.
Kondisi ini menurut hemat kami sangat menyesatkan, karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang tegas dengan aturan yang jelas, ditambah dengan proses pendampingan secara menyeluruh, dengan tipe pemimpin daerah yang bijak, maka sangat memungkin tercapainya suatu keadaan yang diharapkan bisa membaik. ***

1 comment:

  1. sayang masyarakat.. air mataku kini sudah tak ada lagi namun pindah kedalam lubuk hati ku tak tahu bagaimana menghapus air mata hati termasuk saya membuat kamu bagaimana masyarakat...

    ReplyDelete